Senin, 02 April 2012

Merh putih di minahasa

14 Februari merupakan hari bersejarah peringatan heroik 176 generasi muda Minahasa, .... Untuk itu, diharapkan generasi muda dapat memahami peristiwa merah putih ini
Untuk meneruskan cita-cita leluhur minahasa yang luhur baca dulu cerita kejayaan leluhur kita berikut  ini:

Minahasa dahulu disebut Tanah Malesung adalah kawasan di dalam provinsi di semenanjung Sulawesi Utara di Indonesia, sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau Sulawesi, yang mencakup 27.515 km persegi, terdiri dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).
1. Huruf
Tulisan Kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti diantaranya di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.
2. Etimologi

Prajurit Minahasa
Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa berarti jadi satu atau menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri digunakan belakangan setelah masa-masa awal itu. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai "Landraad" atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.
2. 1. Kependudukan
Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang ramah dan salah satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
3. Taman Laut Bunaken
Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.
4. Sejarah

Tari Kabasaran
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 (pertama) pemukiman leluhur terlebih dulu berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu berpindah ke pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan.
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat
Pembagian golongan berdasarkan keturunan darah. Ketika hadir pemimpin yang semakin lama pemerintahan semakin korup dan sewenang-wenang, maka terjadilah revolusi rakyat yang menggulingkan pemerintahan monarki.
5. Prasasti Pinawetengan

Prasasti Pinawetengan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasasti Pinawetengan
Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.
Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.
Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.
Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.
Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan [Tounsea] hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi [Tontemboan], [Toumbulu'], Tonsea dan [Toundanou]. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut [Pasan] serta [Ratahan]. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak [Tombatu] dan [Tonsawang].
Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu [Prasasti Pinawetengan]. Ada tiga nama [dotu Muntu-Untu] dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat
Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut [Mandolang] yang sekarang bernama Belang (Bentenan). Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan [Manado]. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-[Bentenan] (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.
6. Pergerakan Mengusir Penjajahan
6. 1. Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol
Minahasa juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa).
6. 2. Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC
Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.
Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemedekaan tanahnya. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.
6. 3. Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang
Perjuangan Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Para pejuang Minahasa masuk ke pasukan Belanda untuk mempelajari segala hal demi menyusun kekuatan besar yang akhirnya dapat memenangkan perang. Di era menjelang Kemerdekaan Indonesia, gerakan perjuangan orang Minahasa telah bergerak secara nasional dengan memanfaatkan segala fasilitas Belanda dan Jepang. Orang minahasa membangun Pasukan Kristen, Perkumpulan para cendekiawan, perkumpulan budaya. Minahasa berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda, bahlan pemimpin-pemimpin pasukan belanda dipercayakan pada orang minahasa, seperti Pasukan KNIL. Jabatan yang dipegang orang Minahasa merupakan kekuatan besar yang bersatu dengan para pejuang dari daerah lainnya sehingga Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh besar yang sangat berjasa melahirkan bangsa Indonesian diantaranya Dr.G.S.J.Sam Ratulangi, A.Maramis, Kawilarang, Ventje Sumual,
Ada sebagian kecil orang Minahasa yang memakai marga Jepang karena beberapa orang Minahasa yang menikah dengan orang Jepang. Tanah Minahasa pada zaman purba disebut sebagai [Tanah Malesung] karena bentuknya seperti lesung atau tanah yang berlembah dan bergelombang. Slogan Minahasa: "Si Tou Tumou Tou" yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain, dengan slogan perjuangan "I Yayat U Santi" yang artinya maju untuk membangun negeri.
6. 4. Pergerakan Mengusir Penjajahan Era Kemerdekaan
Perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan kemerdekaan. Perang 14 februari 1946.
7. Tokoh-tokoh besar bangsa Indonesian asal Minahasa
 

sejarah bendera merah putih


KERAJAAN Siau adalah salah satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya dapat diajukan pada tahun 1956, yaitu setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat.
Pusat kerajaan ini terletak di Pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini di wilayah Kabupaten Sitaro. Tepatnya merupakan salah satu kabupaten di perbatasan Utara Indonesia di Laut Sulawesi ke wilayah laut Filipina. Pulau ini hanya berukuran luas tak lebih 100 Km2.
Namun dalam kiprahnya kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, Pulau Kabaruan (Talaud), Pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao.
Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran di bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Maluciensis, pernah juga membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini di tulisannya. Mungkin karena Belanda pernah kesulitan hendak mencaploknya karena kerajaan ini dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila (Filipina).
Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang bahkan turut juga dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu kini masih ada hingga kini di Barat Pulau Siau.
Meski misi Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak dapat serta merta disebut agama Katolik telah dianut oleh kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut oleh Raja Siau II, Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara. Rombongan ini bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus.
Dari Passeng, pernah berkali istana raja pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau.
Terhitung Raja Posumah memeluk agama Katolik kemudian pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini disebut dicapai pada masa raja Batahi ((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).
Tercatat sebelum masa VOC/Belanda pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana. Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian Lange Contract yang ditandatangani Raja Batahi. Di antara pasal penting yang ditandatangani adalah kerajaan Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Meski demikian, kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolangitan (Kaidipang) yang diislamkan Ternate. Setelah jatuh ke dalam rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga. Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang muslim.
Raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan itu di kerajaan Bolangitang. Ibu mereka adalah puteri asal Siau. Dia merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi. Memang majelis kerajaan ini sulit menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu sejak raja ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang berdarah Siau yang berada di kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja Siau yang muslim.
Jacob Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya. Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan Siau, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Raja juga tidak mau menaikkan pajak kepala di Siau, serta tidak mau mengganti agamanya sebagaimana isi perjanjian lange contract tahun 1677 antara VOC Belanda (Robertus Padtbrugge) dengan kerajaan Siau (Raja Franciscus Saverius Batahi).
Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon).
Keberanian Raja Jacob Ponto melawan Belanda menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia, secara khusus di Siau. Gerakan kebangsaan itu mendorong dibentuknya di Pulau Siau cabang Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno pada tahun 1928. Tokoh lokal sentral pembentukan itu adalah G.E. Dauhan. PNI Siau itu pantas disebut merupakan cabang PNI pertama di luar Jawa.
Makam raja Jacob Ponto kini sangat dihormati di desa Sangkanurib, Kuningan. Sekurangnya hingga tahun 1999, sebagaimana kesaksian masyarakat desa, acara renungan suci malam jelang hari kemerdekaan 17 Agustusan selalu dilakukan di makam itu. Juga upacara penaikan bendera merah putih. Maklum dalam beberapa buku pelajaran lama tokoh ini dihubungkan sebagai tokoh pembela merah-putih. Sayang sejak tahun 2000 kegiatan itu tidak lagi dilakukan. Kenyataan ini membuat seorang budayawan asal Cirebon meminta pemerintah Kabupaten Kuningan dan pemerintah Kabupaten Sitaro serta Kabupaten Bolaang Mongondow Utara agar berkomunikasi bagaimana baiknya memberi penghormatan sepantasnya bagi Raja Jacob Ponto itu.

asal kata indonesia

sigi wangko.
Pada suatu hari di tahun 1922, Sukarno pada waktu ia masih pelajar di HBS Surabaya singgah di Bandung. Tiba di jalan Braga ia melihat papan nama perusahan yang bertuliskan Algamene Levensverzekering Maatschapipij Indonesia. Di situ dia berkenalan dengan direkturnya bernama Sam ratulangi yang kelak disebutnya sebagai gurunya. Bapak Ratulangi menjelaskan bahwa Tanah air kita yang terpisah-pisah oleh daratan dan lautan yang diberi nama Nederlandsch Indie oleh belanda harus diberi nama Indonesia sesuai dengan kesepakatan dengan pemuda-pemudi bangsa kita yang berada di Eropa. "Nama itu adalah ideku ", kata Sam ratulangi. Sukarno yang masih muda itu pulang dengan rasa penasaran akan nama Indonesia itu sehingga suatu saat entah ia bermimpi atau penulis yang bermimpi, terjadi suatu peristiwa dimana Ia bersama gurunya sam Ratulangi jalan-jalan berkeliling nusantara menggunakan pesawat peninggalan belanda.Di angkasa setiap pulau yang mereka lewati dari sabang sampai merauke Sukarno heran karena Sam ratulangi selalu menunjuk ke bawah dan berkata dalam Bahasa Tombulu: "Endone sia" yang artinya ambil dia. Sukarno memutuskan bahwa ini adalah perintah gurunya untuk menyatukan tanah air kita untuk mengambil atau mengajak dan merangkul bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sukarno meyakini jika dia tidak melaksanakan perintah gurunya maka gurunya akan marah dan melaksanakan sendiri tugas mulia itu atau jika gurunya sudah tua dan mati, beliau akan mati penasaran dengan penyesalan atas kebodohan muridnya sehingga murid-murid yang lain, anak-anak gurunya,anak-anak minahasa atau siapa saja yang mewarisi jiwa perjuangan Sam ratulangi akan lebih pantas untuk tugas mulia itu.