Minggu, 19 Mei 2019
Jumat, 17 Mei 2019
Peran Guru dari Masa ke Masa
Kapan
guru itu lahir? Kapan guru itu ada? Pertanyaan mendasar yang membutuhkan
jawaban mendasar pula. Guru lahir dan ada semenjak manusia itu ada
di muka bumi. Karena begitu manusia itu ada dalam kehidupan, sesungguhnya
proses pendidikan itu terjadi. Proses pendidikan dalam arti proses
internalisasi dan sosialisasi suatu nilai dari orang dewasa kepada orang yang
dianggap perlu menerima suatu nilai. Dalam pembahasan ini tentu tidak akan
dibahas bagaimana proses pendidikan itu berlangsung dan bagaimana
peran pendidik (guru) dalam proses tersebut dari satu zaman ke zaman lain.
Tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana peranan guru Indonesia dalam
bingkai sejarah Negara Republik Indonesia, dari masa penjajahan sampai ke alam
kemerdekaan dengan berbagai situasi dan kondisi.
1. Peran Guru pada Masa
Penjajahan
Pada
masa penjajahan guru tampil dan ikut mewarnai perjuangan tersebut. Hal ini
dapat kita lihat dari lahirnya organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada
zaman Belanda pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda.
Organisasi ini merupakan kumpulan dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah,
dan penilik sekolah.
Dengan
semangat perjuangan dan kebangsaan yang menggelora, para guru pribumi menuntut
persamaan hak dan kedudukaan dengan pihak Belanda. Sebagai salah satu bukti
dari perjuangan ini adalah Kepala HIS yang sebelumnya selalu dijabat oleh orang
Belanda, bergeser ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan guru terus
bergelora dan memuncak serta mengalami pergeseran cita-cita perjuangan yang
lebih hakiki lagi, yaitu Indonesia merdeka.
Pada
tahun 1932 Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) berubah menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI). Perubahan nama ini merupakan suatu langkah berani dan penuh
risiko, karena mengusung nama "Indonesia" di mana Belanda tidak suka
dengan kata tersebut yang dianggap mengobarkan semangat kebangsaan. Namun,
dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dorongan untuk hidup merdeka
menjadikan organisasi ini tetap eksis sampai pemerintahan kolonial Belanda
berakhir.
Ketika
pemerintahan kolonial Jepang berkuasa, segala organisasi yang dianggap
membahayakan keberadaan pemerintah kolonial jepang dilarang, termasuk Persatuan
Guru Indonesia (PGI). Praktis selama pemerintahan kolonial Jepang PGI tidak
dapat melakukan aktivitasnya dengan terbuka.
Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa peran guru pada masa penjajahan sangat
penting dan mempunyai nilai yang sangat strategis dalam membangkitkan semangat
kebangsaan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Dengan peran guru nasionalisme dan
menekankan arti penting sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
2. Peran Guru pada Masa Kemerdekaan
Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadikan peran guru dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat lebih terbuka dan maksimal. Dengan semangat
proklamasi para guru bersepakat menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia yang
berlangsung tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Dalam kongres tersebut
disepakati untuk menghilangkan segala perbedaan latar belakang yang ada pada
guru, seperti perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, daerah asal, politik,
agama, dan suku. Mereka melebur dalam suasana ke-Indonesiaan dan siap mengabdi
demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
Melalui kongres ini didirikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tepatnya
tanggal 25 November 1945.
PGRI
lahir dalam suasana revolusi di mana bangsa Indonesia masih menghadapi Sekutu
yang ingin mengambil alih kembali Indonesia merdeka. Melalui siaran RRI
Surakarta, para guru bersatu dan siap mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:
(1) mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; (2) mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; (3)
membela hak dan nasib buruh umumnya, dan guru pada khususnya. Dari tiga tujuan
di atas, dapat disimpulkan bahwa PGRI sangat serius terhadap masalah nasib
bangsa ke depan menuju Indonesia merdeka yang sejahtera, adil, dan makmur.
Dengan
Kongres Guru Indonesia, maka semua guru yang ada di Indonesia melebur dan
menyatu dalam suatu wadah atau organisasi PGRI, guru Indonesia siap berjuang
untuk mengangkat harkat dan martabat guru, sekaligus harkat dan martabat
bangsa Indonesia.
PGRI
sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi
ketenagakerjaan terus mengalami dinamika, baik yang disebabkan faktor internal
maupun faktor eksternal. Faktor internal terus muncul seiring dengan tuntutan
perbaikan nasib guru yang diakui masih sangat rendah. Bahkan guru sering
diidentikkan dengan Umar Bakri yang oleh penyanyi Iwan Fals digambarkan sebagai
sosok guru yang serba minim kehidupannya dengan sepeda kumbangnya. Sementara
itu, faktor eksternal, terutama dinamika sosial politik nasional juga ikut
mewarnai perjalanan organisasi PGRI. Kadang pengaruh itu positif, tetapi tidak
jarang kadang negatif yang menyeret organisasi PGRI ke hal-hal yang kurang
menguntungkan.
Perjuangan
PGRI sebagai wadah para guru semakin eksis dengan ditetapkannya kelahiran PGRI
tangga125 November 1945 sebagai Hari Guru Nasional yang diperingati setiap
tahun melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Melalui Keputusan
Presiden ini PGRI semakin terbuka lebar untuk berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Namun, seiring dengan terbukanya kiprah ini, PGRI
pernah terseret ke dalam kepentingan penguasa melalui kedekatannya dengan
partai politik tertentu. Dan sebagai "hadiah" politik PGRI mendapat
jatah kursi di MPR melalui Utusan Golongan.
Ketika
angin reformasi berhembus dan kran kebebasan terbuka lebar, para guru lebih
berani berekspresi untuk menyampaikan aspirasinya, terutama menyangkut
kesejahteraan. Pemandangan yang tidak pernah terjadi dalam pemerintahan Orde
Baru, yakni guru berdemonstrasi kini dengan alasan kebebasan dan reformasi guru
berani turun ke jalan menuntut perbaikan kesejahteraan, tidak mampu
memperjuangkan nasib guru, kurang memiliki keberanian untuk melakukan proses
demokrasi pendidikan nasional, dan tidak mampu meningkatkan citra birokrasi
pendidikan yang berwibawa sebagai salah satu dasar perbaikan sistem pendidikan
nasional (Ki Supriyoko, "Oemar Bakri Menurunkan Menteri," Kompas: 7-3-2000).
Lebih
lanjut Ki Supriyoko berpendapat bahwa gaji guru di Indonesia tergolong sangat
rendah dibandingkan dengan negara tetangga apalagi negara maju. Rendahnya gaji
guru disebabkan APBN yang dialokasikan untuk sektor pendidikan masih sangat
rendah, yakni kurang dari 10%. Dengan alokasi APBN seperti ini rasanya sulit
untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Oleh karena itu, sudah saatnya
pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menaikkan APBN pendidikan sesuai
dengan amanat konstitusi Pasal 31 ayat 4 UUD 1945.
Tuntutan
akan kesejahteraan guru perlahan tetapi pasti ternyata direspons oleh
pemerintah. Namun, tampaknya pemerintah menempatkan peningkatan kesejahteraan
guru dalam konteks kompetensi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, pencanangan guru sebagai
profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 2 Desember 2004.
Kebijakan ini adalah suatu langkah maju menuju perbaikan kesejahteraan guru
sekaligus tuntutan kualifikasi dan kompetensi guru, guna menjawab tantangan
dunia global yang semakin kompleks dan kompetitif. Dalam kondisi seperti ini
dibutuhkan sumber daya manusia yang andal dan ini bisa dihasilkan dari dunia
pendidikan yang dikelola oleh guru yang profesional. Kedua, ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Melalui UU ini diatur hak dan kewajiban guru yang muaranya
adalah kesejahteraan dan kompetensi guru. Ketiga,
lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Keempat, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen yang telah disahkan tanggal 6 Desember 2005. UU ini juga menekankan
tiga aspek penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dilihat dari
tenaga pendidik dan kependidikan, yakni kualifikasi, sertifikasi, dan
kesejahteraan.
Kini
kesejahteraan guru sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, bahkan untuk
daerah tertentu, seperti DKI Jakarta, kesejahteraan guru sudah dianggap cukup
dengan adanya tunjangan kesejahteraan dari Pemda DKI Jakarta. Sejalan dengan
peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia, kualifikasi, kompetensi, dan
dedikasi para guru sudah saatnya ditingkatkan. Para guru harus mampu mengubah
paradigma berpikir dan bertinclak dalam menjalankan tugas sebagai pengajar dan
pendidik. Ke depan guru tidak terjebak pada rutinitas tugas belaka, tetapi
secara terus-menerus guru mampu meningkatkan kualitas mengajar dan mendidiknya
sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Tanpa perubahan
paradigma dari para guru, sepertinya sulit dan hampir tidak mungkin mutu
pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Hal ini disebabkan guru berada di
garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Oleh
karena itu, dibutuhkan kesejahteraan pribadi dan profesional guru yang
meliputi: (1) imbal jasa yang wajar dan proporsional; (2) rasa aman dalam
melaksanakan tugasnya; (3) kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas
dan suasana kehidupannya; (4) hubungan antarpribadi yang baik dan kondusif;
(5) kepastian jenjang karier dalam menuju masa depan yang lebih baik (Surya,
1999).
B. Guru dan Tantangan Globalisasi
Globalisasi
telah mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga masyarakat
dan sebagai warga bangsa. Tidak seorang pun yang dapat menghindari dari arus
globalisasi. Setiap individu dihadapkan pada dua pilihan, yakni dia menempatkan
dirinya dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau dia
menjadi korban dan terseret derasnya arus globalisasi. Arus globalisasi juga
masuk dalam wilayah pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik
positif maupun negatif. Dalam konteks ini tugas dan peranan guru sebagai ujung
tombak dunia pendidikan sangat berperan.
Tugas
dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia
pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan
guru di sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki
kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan
dan percaya diri yang tinggi_ Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus
mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara keilmuan
(akademis) maupun secara sikap mental. Oleh karena itu, dibutuhkan sekolah yang
unggul yang memiliki ciri-ciri: (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif
dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan; (2) memiliki
visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan
jelas; (3) guru-guru yang kompeten dan berjiwa kader yang senantiasa bergairah
dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif; (4) siswa-siswa yang
sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran; (5)
masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam menunjang pendidikan (Louis
V Gerstner, Jr., dkk, 1995 dalam Zainal Aqib).
Beberapa
tantangan globalisasi yang harus disikapi guru dengan rnengedepankan
profesionalisme adalah sebagai berikut.
1. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar. Dengan kondisi
ini guru harus bisa menyesuaikan diri dengan responsif, arif, dan bijaksana.
Responsif artinya guru harus bisa menguasai dengan baik produk iptek, terutama
yang berkaitan dengan dunia pendidikan, seperti pembelajaran dengan
menggunakan multimedia. Tanpa penguasaan iptek yang baik, maka guru akan
tertinggal dan menjadi korban iptek serta menjadi guru yang "isoku
iki."
2. Krisis
moral yang melanda bangsa dan negara Indonesia Akibat pengaruh iptek dan
globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang sangat menjunjung tinggi moralitas
kini sudah bergeser seiring dengan pengaruh iptek dan globalisasi. Di kalangan
remaja sangat begitu terasa akan pengaruh iptek dan globalisasi. Pengaruh hiburan
baik cetak maupun elektronik yang menjurus pada hal-hal pornografi telah
menjadikan remaja tergoda dengan kehidupan yang menjurus pada pergaulan bebas
dan materialisme. Mereka sebenarnya hanya menjadi korban dari globalisasi yang
selalu menuntut kepraktisan, kesenangan belaka (hedonisme) dan budaya instant.
Salah
satu survei yang dilakukan sebuah lembaga di Yogyakarta menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan, yaitu sekitar 10% siswa tingkat SMP di kota itu pernah
berhubungan badan (M. Idris, 2004). Tentu saja hasil survei tersebut
mengejutkan kita semua, mengingat rata-rata usia siswa SMP 12-15 tahun, suatu
usia yang masih belum waktunya untuk melakukan suatu hubungan seperti layaknya
suami istri. Di samping itu, kita mengenal bahwa Yogyakarta merupakan kota
pelajar. Ini sangat ironis bila dihubungkan dengan kenyataan yang ada. Fenomena
tersebut menunjukkan bahwa arus globalisasi, terutama yang bersifat negatif,
bila tidak hati-hati akan menghancurkan generasi muda dengan perilaku-perilaku yang menyimpang.
3. Krisis
sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan yang
terjadi dalam masyarakat Akibat perkembangan industri dan kapitalisme maka
muncul masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Tidak semua lapisan
masyarakat bisa mengikuti dan menikmati dunia industri dan kapitalisme. Mereka
yang lemah secara pendidikan, akses, dan ekonomi akan menjadi korban ganasnya
industrialisasi dan kapitalisme. Ini merupakan tantangan guru untuk merespons
realitas ini, terutama dalam dunia pendidikan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan yang formal dan sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat harus
mampu menghasilkan peserta didik yang siap hidup dalam kondisi dan situasi
bagaimanapun. Dunia pendidikan harus menjadi solusi dari suatu masalah sosial
(kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan) bukan menjadi bagian
bahkan penyebab dari masalah sosial tersebut.
4. Krisis
identitas sebagai bangsa dan negara Indonesia
Sebagai
bangsa dan negara di tengah bangsa-bangsa di dunia membutuhkan identitas
kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi dari warga negara Indonesia. Semangat
nasionalisme dibutuhkan untuk tetap eksisnya bangsa dan negara Indonesia.
Nasionalisme yang tinggi dari warga negara akan mendorong jiwa berkorban untuk
bangsa dan negara sehingga akan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Dewasa ini ada kecenderungan menipisnya jiwa nasionalisme di kalangan generasi
muda. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti kurang
apresiasinya generasi muda pada kebudayaan asli bangsa Indonesia, pola dan gaya
hidup remaja yang lebih kebarat-baratan, dan beberapa indikator lainnya.
Melihat realitas di atas guru sebagai penjaga nilai-nilai termasuk nilai
nasionalisme harus mampu memberikan kesadaran kepada generasi muda akan
pentingnya jiwa
5. Adanya
perdagangan bebas, baik tingkat ASEAN, Asia Pasifik, maupun Dunia.
Kondisi
di atas membutuhkan kesiapan yang matang terutama dari segi kualitas sumber
daya manusia. Dibutuhkan SDM yang andal dan unggul yang siap bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Dunia pendidikan mempunyai peranan yang penting
dan strategis dalam menciptakan SDM yang digambarkan seperti di atas. Oleh
karena itu, dibutuhkan guru yang visioner, kompeten, dan berdedikasi tinggi
sehingga mampu membekali peserta didik dengan sejumlah kompetensi yang
diperlukan dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang sedang dan terus
berubah.
C Mengubah Paradigma
Peran Guru
Salah
satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru. Gurulah yang
berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru
berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui proses belajar
mengajar. Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas,
baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral serta
spiritual. Dengan demikian, akan dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup
dengan tantangan zamannya. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang
mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan
tugas profesionalnya.
Apalagi
dalam perubahan kurikulum yang menekankan kompetensi, guru memegang peranan
penting terhadap implementasi KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan
melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Guru adalah kurikulum berjalan. Menurut
mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad maka semuanya akan sia-sia
(Kompas, 15 April 2004). Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia tidak cukup
dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan
peningkatan mutu guru di jenjang tingkat dasar dan menengah. Tanpa upaya
meningkatkan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang
diinginkan.
Realitas
menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Input
guru di Indonesia sangat rendah. Data Balitbang Depdiknas (1999) menunjukkan
dari peserta tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata
rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru Biologi
ketika dites Biologi rata-rata skornya hanya 44,96; dari 396 calon guru Kimia
ketika dites Kimia rata-rata skornya hanya 43,55; dari 7.558 calon guru Bahasa
Inggris rata-rata skornya hanya 37,57; dari 7.863 calon guru Matematika ketika
dites Matematika rata-rata skornya hanya 27,67; dan dari 1.164 calon guru Fisika
ketika dites Fisika rata-rata skornya hanya 27,35. Data Balitbang Depdiknas
tahun 2001 juga menunjukkan guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai layak
mengajar hanya 38 persen dari 1.141.168 guru se-Indonesia. Begitu pula untuk
jenjang menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar masih di bawah 70
persen (Kompas, 25 Januari 2004).
Untuk
menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian,
dibutuhkan guru yang visioner dan mampu mengelola proses belajar mengajar
secara efektif dan inovatif. Diperlukan perubahan strategi dan model
pembelajaran yang sedemikian rupa memberikan nuansa yang menyenangkan bagi guru
dan peserta didik. Apa yang dikenal dengan sebutan "Quantum Learning"
dan "Quantum Teaching", pada hakikatnya adalah mengembangkan suatu
model dan strategi pembelajaran yang seefektif mungkin dalam suasana yang
menyenangkan dan penuh gairah serta bermakna.
Di
masa lalu dan mungkin sekarang, suasana lingkungan belajar sering dipersepsikan
sebagai suatu lingkungan yang menyiksa, membosankan, kurang merangsang, dan
berlangsung secara monoton sehingga anak-anak belajar secara terpaksa dan
kurang bergairah. Di lain pihak para guru juga berada dalam suasana lingkungan
yang kurang menyenangkan dan sering kali terjebak dalam rutinitas sehari-hari.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma (pola pikir) guru, dari pola
pikir tradisional menuju pola pikir profesional. Apalagi lahirnya Undang-Undang
Guru dan Dosen menuntut sosok guru yang berkualifikasi, berkompetensi, dan
bersertifikasi.
Sementara
itu, menurut Mulyasa (2005) sedikitnya ada tujuh kesalahan yang sering
dilakukan guru dalam pembelajaran, yaitu (1) mengambil jalan pintas dalam
pembelajaran; (2) menunggu peserta didik berperilaku negatif; (3) menggunakan destructive discipline; (4) mengabaikan
perbedaan peserta didik; (5) merasa paling pandai dan tahu; (6) tidak adil
(diskriminatif); dan (7) memaksa hak peserta didik.
Beberapa
paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut.
1. Tidak
terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memberdayakan
diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya,
baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan
kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar,
pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara
maksimal.
2. Guru
mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan
moti sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif
dan menyenangkan.
3. Dominasi
guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar
mengajar.
4. Guru
mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pem
5. belajaran
sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
6. Guru
menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang
menyenangkan.
7. Guru
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga
memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini.
8. Guru
mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi.
9. Guru
mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap
menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan
kesiapan yang baik.
dikutip dari Kusnandar (judul asli: Guru Profesional)
Kamis, 16 Mei 2019
Kamis, 09 Mei 2019
Langganan:
Postingan (Atom)