Jumat, 17 Mei 2019

Peran Guru dari Masa ke Masa


Kapan guru itu lahir? Kapan guru itu ada? Pertanyaan mendasar yang membutuhkan jawaban mendasar pula. Guru lahir dan ada semenjak manusia itu ada di muka bumi. Karena begitu manusia itu ada dalam kehidupan, sesungguhnya proses pendidikan itu terjadi. Proses pendidikan dalam arti proses internalisasi dan sosialisasi suatu nilai dari orang dewasa kepada orang yang dianggap perlu menerima suatu nilai. Dalam pembahasan ini tentu tidak akan dibahas bagaimana proses pendidikan itu berlangsung dan bagaimana peran pendidik (guru) dalam proses tersebut dari satu zaman ke zaman lain. Tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana peranan guru Indonesia dalam bingkai sejarah Negara Republik Indonesia, dari masa penjajahan sampai ke alam kemerdekaan dengan berbagai situasi dan kondisi.
1. Peran Guru pada Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan guru tampil dan ikut mewarnai perjuangan­ tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi per­juangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda. Organisasi ini merupakan kumpulan dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah.
Dengan semangat perjuangan dan kebangsaan yang mengge­lora, para guru pribumi menuntut persamaan hak dan kedudukaan dengan pihak Belanda. Sebagai salah satu bukti dari perjuangan ini adalah Kepala HIS yang sebelumnya selalu dijabat oleh orang Belanda, bergeser ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan guru terus bergelora dan memuncak serta mengalami pergeseran cita-cita perjuangan yang lebih hakiki lagi, yaitu Indonesia merdeka.
Pada tahun 1932 Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini merupakan suatu langkah berani dan penuh risiko, karena mengusung nama "Indonesia" di mana Belanda tidak suka dengan kata tersebut yang dianggap mengobarkan semangat kebangsaan. Namun, dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dorongan untuk hidup merdeka menjadikan organisasi ini tetap eksis sampai pemerintahan kolonial Belanda berakhir.
Ketika pemerintahan kolonial Jepang berkuasa, segala orga­nisasi yang dianggap membahayakan keberadaan pemerintah kolonial jepang dilarang, termasuk Persatuan Guru Indonesia (PGI). Praktis selama pemerintahan kolonial Jepang PGI tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan terbuka.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa peran guru pada masa penjajahan sangat penting dan mempunyai nilai yang sangat strategis dalam membangkitkan semangat kebangsaan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Dengan peran guru nasionalisme dan menekankan arti penting sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. 
2. Peran Guru pada Masa Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadikan peran guru dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat lebih terbuka dan maksimal. Dengan semangat proklamasi para guru bersepakat menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia yang berlangsung tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Dalam kongres tersebut disepakati untuk menghilangkan segala perbedaan latar belakang yang ada pada guru, seperti perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, daerah asal, politik, agama, dan suku. Mereka melebur dalam suasana ke-Indonesiaan dan siap mengabdi demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Melalui kongres ini didirikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tepatnya tanggal 25 November 1945.
PGRI lahir dalam suasana revolusi di mana bangsa Indonesia masih menghadapi Sekutu yang ingin mengambil alih kembali Indonesia merdeka. Melalui siaran RRI Surakarta, para guru bersatu dan siap mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan: (1) mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; (2) mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; (3) membela hak dan nasib buruh umumnya, dan guru pada khususnya. Dari tiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa PGRI sangat serius terhadap masalah nasib bangsa ke depan menuju Indonesia merdeka yang sejah­tera, adil, dan makmur.
Dengan Kongres Guru Indonesia, maka semua guru yang ada di Indonesia melebur dan menyatu dalam suatu wadah atau organisasi PGRI, guru Indonesia siap berjuang untuk meng­angkat harkat dan martabat guru, sekaligus harkat dan martabat bangsa Indonesia.
PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan terus mengalami dinamika, baik yang disebabkan faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor inter­nal terus muncul seiring dengan tuntutan perbaikan nasib guru yang diakui masih sangat rendah. Bahkan guru sering diidentikkan dengan Umar Bakri yang oleh penyanyi Iwan Fals digambarkan sebagai sosok guru yang serba minim kehidupannya dengan sepeda kumbangnya. Sementara itu, faktor eksternal, terutama dinamika sosial politik nasional juga ikut mewarnai perjalanan organisasi PGRI. Kadang pengaruh itu positif, tetapi tidak jarang kadang negatif yang menyeret organisasi PGRI ke hal-hal yang kurang menguntungkan.
Perjuangan PGRI sebagai wadah para guru semakin eksis dengan ditetapkannya kelahiran PGRI tangga125 November 1945 sebagai Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tahun melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Melalui Keputusan Presiden ini PGRI semakin terbuka lebar untuk berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, seiring dengan terbukanya kiprah ini, PGRI pernah terseret ke dalam kepentingan penguasa melalui kedekatannya dengan partai politik tertentu. Dan sebagai "hadiah" politik PGRI mendapat jatah kursi di MPR melalui Utusan Golongan.
Ketika angin reformasi berhembus dan kran kebebasan terbuka lebar, para guru lebih berani berekspresi untuk menyampaikan aspirasinya, terutama menyangkut kesejahteraan. Pemandangan yang tidak pernah terjadi dalam pemerintahan Orde Baru, yakni guru berdemonstrasi kini dengan alasan kebebasan dan reformasi guru berani turun ke jalan menuntut perbaikan kesejahteraan, tidak mampu memperjuangkan nasib guru, kurang memiliki kebe­ranian untuk melakukan proses demokrasi pendidikan nasional, dan tidak mampu meningkatkan citra birokrasi pendidikan yang berwibawa sebagai salah satu dasar perbaikan sistem pendidikan nasional (Ki Supriyoko, "Oemar Bakri Menurunkan Menteri," Kompas: 7-3-2000).
Lebih lanjut Ki Supriyoko berpendapat bahwa gaji guru di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga apalagi negara maju. Rendahnya gaji guru disebabkan APBN yang dialokasikan untuk sektor pendidikan masih sangat rendah, yakni kurang dari 10%. Dengan alokasi APBN seperti ini rasanya sulit untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menaikkan APBN pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 31 ayat 4 UUD 1945.
Tuntutan akan kesejahteraan guru perlahan tetapi pasti ter­nyata direspons oleh pemerintah. Namun, tampaknya pemerintah menempatkan peningkatan kesejahteraan guru dalam konteks kompetensi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, pencanangan guru sebagai profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 2 Desember 2004. Kebijakan ini adalah suatu langkah maju menuju perbaikan kesejahteraan guru seka­ligus tuntutan kualifikasi dan kompetensi guru, guna menjawab tantangan dunia global yang semakin kompleks dan kompetitif. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sumber daya manusia yang andal dan ini bisa dihasilkan dari dunia pendidikan yang dikelola oleh guru yang profesional. Kedua, ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui UU ini diatur hak dan kewajiban guru yang muaranya adalah kesejahteraan dan kompetensi guru. Ketiga, lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Keempat, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tanggal 6 Desember 2005. UU ini juga mene­kankan tiga aspek penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dilihat dari tenaga pendidik dan kependidikan, yakni kualifikasi, sertifikasi, dan kesejahteraan.
Kini kesejahteraan guru sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, bahkan untuk daerah tertentu, seperti DKI Jakarta, kesejahteraan guru sudah dianggap cukup dengan adanya tun­jangan kesejahteraan dari Pemda DKI Jakarta. Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia, kualifikasi, kompe­tensi, dan dedikasi para guru sudah saatnya ditingkatkan. Para guru harus mampu mengubah paradigma berpikir dan bertinclak dalam menjalankan tugas sebagai pengajar dan pendidik. Ke depan guru tidak terjebak pada rutinitas tugas belaka, tetapi secara terus-menerus guru mampu meningkatkan kualitas mengajar dan mendidiknya sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Tanpa perubahan paradigma dari para guru, sepertinya sulit dan hampir tidak mungkin mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Hal ini disebabkan guru berada di garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesejahteraan pribadi dan profesional guru yang meliputi: (1) imbal jasa yang wajar dan proporsional; (2) rasa aman dalam melaksanakan tugasnya; (3) kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya; (4) hubungan antarpribadi yang baik dan kon­dusif; (5) kepastian jenjang karier dalam menuju masa depan yang lebih baik (Surya, 1999).
B. Guru dan Tantangan Globalisasi
Globalisasi telah mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga masyarakat dan sebagai warga bangsa. Tidak seorang pun yang dapat menghindari dari arus globalisasi. Setiap individu dihadapkan pada dua pilihan, yakni dia menem­patkan dirinya dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau dia menjadi korban dan terseret derasnya arus globalisasi. Arus globalisasi juga masuk dalam wilayah pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam konteks ini tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat berperan.
Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masya­rakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi_ Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara keilmuan (akademis) maupun secara sikap mental. Oleh karena itu, dibutuhkan sekolah yang unggul yang memiliki ciri-ciri: (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan; (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas; (3) guru-guru yang kompeten dan berjiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara ino­vatif; (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran; (5) masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam menunjang pendidikan (Louis V Gerstner, Jr., dkk, 1995 dalam Zainal Aqib).
Beberapa tantangan globalisasi yang harus disikapi guru dengan rnengedepankan profesionalisme adalah sebagai berikut.
1.       Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar. Dengan kondisi ini guru harus bisa menyesuaikan diri dengan responsif, arif, dan bijaksana. Responsif artinya guru harus bisa menguasai dengan baik produk iptek, terutama yang berkaitan dengan dunia pendi­dikan, seperti pembelajaran dengan menggunakan multi­media. Tanpa penguasaan iptek yang baik, maka guru akan tertinggal dan menjadi korban iptek serta menjadi guru yang "isoku iki."
2.       Krisis moral yang melanda bangsa dan negara Indonesia Akibat pengaruh iptek dan globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang sangat menjunjung tinggi moralitas kini sudah bergeser seiring dengan pengaruh iptek dan globalisasi. Di kalangan remaja sangat begitu terasa akan pengaruh iptek dan globalisasi. Pengaruh hiburan baik cetak maupun elektro­nik yang menjurus pada hal-hal pornografi telah menjadikan remaja tergoda dengan kehidupan yang menjurus pada pergaulan bebas dan materialisme. Mereka sebenarnya hanya menjadi korban dari globalisasi yang selalu menuntut kepraktisan, kesenangan belaka (hedonisme) dan budaya instant.
Salah satu survei yang dilakukan sebuah lembaga di Yogya­karta menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, yaitu sekitar 10% siswa tingkat SMP di kota itu pernah berhubungan badan (M. Idris, 2004). Tentu saja hasil survei tersebut mengejutkan kita semua, mengingat rata-rata usia siswa SMP 12-15 tahun, suatu usia yang masih belum waktunya untuk melakukan suatu hubungan seperti layaknya suami istri. Di samping itu, kita mengenal bahwa Yogyakarta merupakan kota pelajar. Ini sangat ironis bila dihubungkan dengan kenyataan yang ada. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa arus globalisasi, terutama yang bersifat negatif, bila tidak hati-hati akan menghancurkan generasi muda dengan  perilaku-perilaku yang menyimpang.
3.       Krisis sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat Akibat perkembangan industri dan kapitalisme maka muncul masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat bisa mengikuti dan menikmati dunia industri dan kapitalisme. Mereka yang lemah secara pendidikan, akses, dan ekonomi akan menjadi korban ganas­nya industrialisasi dan kapitalisme. Ini merupakan tantangan guru untuk merespons realitas ini, terutama dalam dunia pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang for­mal dan sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat harus mampu menghasilkan peserta didik yang siap hidup dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Dunia pendidikan harus menjadi solusi dari suatu masalah sosial (kriminalitas, keke­rasan, pengangguran, dan kemiskinan) bukan menjadi bagian bahkan penyebab dari masalah sosial tersebut.
4.       Krisis identitas sebagai bangsa dan negara Indonesia
Sebagai bangsa dan negara di tengah bangsa-bangsa di dunia membutuhkan identitas kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi dari warga negara Indonesia. Semangat nasionalisme dibutuhkan untuk tetap eksisnya bangsa dan negara Indonesia. Nasionalisme yang tinggi dari warga negara akan men­dorong jiwa berkorban untuk bangsa dan negara sehingga akan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Dewasa ini ada kecenderungan menipisnya jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti kurang apresiasinya generasi muda pada kebudayaan asli bangsa Indonesia, pola dan gaya hidup remaja yang lebih kebarat-baratan, dan beberapa indikator lainnya. Melihat realitas di atas guru sebagai penjaga nilai-nilai termasuk nilai nasionalisme harus mampu memberikan kesadaran kepada generasi muda akan pentingnya jiwa
5.       Adanya perdagangan bebas, baik tingkat ASEAN, Asia Pasifik, maupun Dunia.
Kondisi di atas membutuhkan kesiapan yang matang ter­utama dari segi kualitas sumber daya manusia. Dibutuhkan SDM yang andal dan unggul yang siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dunia pendidikan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam menciptakan SDM yang digambarkan seperti di atas. Oleh karena itu, dibutuhkan guru yang visioner, kompeten, dan berdedikasi tinggi sehingga mampu membekali peserta didik dengan sejumlah kompe­tensi yang diperlukan dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang sedang dan terus berubah.
C  Mengubah Paradigma Peran Guru
Salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru. Gurulah yang berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui proses belajar mengajar. Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral serta spiritual. Dengan demikian, akan dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup dengan tantangan zamannya. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Apalagi dalam perubahan kurikulum yang menekankan kompetensi, guru memegang peranan penting terhadap implemen­tasi KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksa­nakan kurikulum di dalam kelas. Guru adalah kurikulum berjalan. Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad maka semuanya akan sia-sia (Kompas, 15 April 2004). Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru di jenjang tingkat dasar dan menengah. Tanpa upaya meningkatkan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang diinginkan.
Realitas menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Input guru di Indonesia sangat rendah. Data Balitbang Depdiknas (1999) menunjukkan dari peserta tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata­-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru Biologi ketika dites Biologi rata-rata skornya hanya 44,96; dari 396 calon guru Kimia ketika dites Kimia rata-rata skornya hanya 43,55; dari 7.558 calon guru Bahasa Inggris rata-rata skornya hanya 37,57; dari 7.863 calon guru Matematika ketika dites Matematika rata-rata skornya hanya 27,67; dan dari 1.164 calon guru Fisika ketika dites Fisika rata-rata skornya hanya 27,35. Data Balitbang Depdiknas tahun 2001 juga menunjukkan guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38 persen dari 1.141.168 guru se-Indonesia. Begitu pula untuk jenjang menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar masih di bawah 70 persen (Kompas, 25 Januari 2004).
Untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan per­saingan dan ketidakpastian, dibutuhkan guru yang visioner dan mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif dan inovatif. Diperlukan perubahan strategi dan model pembelajaran yang sedemikian rupa memberikan nuansa yang menyenangkan bagi guru dan peserta didik. Apa yang dikenal dengan sebutan "Quantum Learning" dan "Quantum Teaching", pada hakikatnya adalah mengembangkan suatu model dan strategi pembelajaran yang seefektif mungkin dalam suasana yang menyenangkan dan penuh gairah serta bermakna.
Di masa lalu dan mungkin sekarang, suasana lingkungan belajar sering dipersepsikan sebagai suatu lingkungan yang menyiksa, membosankan, kurang merangsang, dan berlangsung secara monoton sehingga anak-anak belajar secara terpaksa dan kurang bergairah. Di lain pihak para guru juga berada dalam suasana lingkungan yang kurang menyenangkan dan sering kali terjebak dalam rutinitas sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma (pola pikir) guru, dari pola pikir tradisional menuju pola pikir profesional. Apalagi lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen menuntut sosok guru yang berkualifikasi, ber­kompetensi, dan bersertifikasi.
Sementara itu, menurut Mulyasa (2005) sedikitnya ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran, yaitu (1) mengambil jalan pintas dalam pembelajaran; (2) menunggu peserta didik berperilaku negatif; (3) menggunakan destructive discipline; (4) mengabaikan perbedaan peserta didik; (5) merasa paling pandai dan tahu; (6) tidak adil (diskriminatif); dan (7) memaksa hak peserta didik.
Beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut.
1.       Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengem­bangkan dan memberdayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal.
2.       Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan moti­ sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
3.       Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar.
4.       Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pem­
5.       belajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
6.       Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang menyenangkan.
7.       Guru mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tek­nologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini.
8.       Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masya­rakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi.
9.       Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
                                                                                                dikutip dari Kusnandar (judul asli: Guru Profesional)

GURU PROFESIONAL

buku bacaan

GURU PROFESIONAL

VID 19700101 193808