Rabu, 02 September 2020

LOLO (cerita rakyat Minahasa)

 

CERITA RAKYAT “LOLO”

                                                                                                                                                Karya: Frikho Fernando Polii

Kulit gunung Lolombulan terus berubah warnanya dari hijau, menguning, dan menjadi semakin kecoklatan, dari masa lalu ke masa selanjutnya, terus ke masa depan. Begitupun perjalanan waktu yang terus berlaku dan berlalu dari suatu purnama ke purnama berikutnya, mengiringi pergantian penghuni bumi dari masa ke masa. Di antara purnama- purnama itu, ada satu purnama yang menjadi saksi kelahiran seorang anak manusia yang biografinya belum selesai sejak masa lampau.

Saat puncak Lolombulan mulai memerah dan menjadi kuning keemasan karena terpaan cahaya bulan.  Apa gerangan yang terjadi? Lolo dihadirkan oleh Opo Empung berkat sayatan pisau kulit bambu yang memutuskan tali pusarnya dari raga sang pemilik rahim. Pada masa itu memotong tali pusar bayi ketika dilahirkan cukup mengunakan lapisan paling luar kulit bambu yang sangat tajam tanpa menggunakan pisau, karena untuk memperoleh sebilah pisau masih lebih sulit dari pada memperoleh sekarung emas murni atau memburu 50 ekor hewan Anoa dalam sehari. Kelahiran Lolo mewarnai salah satu ciri dan sikap makhluk manusia yang hidup di salah satu bisul bumi di ujung paling utara pulau Sulawesi.  Lolo yang artinya “melihat ke atas” menjadi pilihan nama ayahnya oleh karena berita kelahirannya terdengar oleh orang- orang se-kaumnya dengan melihat ke atas dari kaki gunung Lolombulan. Saat itu di kawasan gunung Lolombulan dihuni oleh kelompok manusia primitif yang tidak mampu menuliskan sejarah peradabannya kepada generasi selanjutnya. Mereka bukanlah merupakan kelompok keturunan Toar dan Lumimuut sebagai cikal bakal suku Malesung/ Minahasa yang muncul belakangan bersamaan dengan tiupan angin utara dan terdampar dan menetap di tempat itu. Kelompok manusia primitif ini telah ada dalam kurun waktu yang  jauh sebelum keluarga  Toar dan Lumimuut terbentuk.

Keluarga Lolo tinggal dan menjalani  hari- hari kehidupan  mereka pada Sabua bambu dekat mata air. Umur Lolo kira- kira seumuran dengan pohon kelapa yang baru mulai mengeluarkan buah pertamanya, yang tumbuh subur di samping mata air itu. Di dalam Sabua ini Lolo hidup rukun dan damai bersama  kedua orangtuanya, serta ketujuh kakak perempuannya yang masing- masing umurnya berjarak kira- kira 24 kali purnama dihitung dari hari kelahiran si Lolo sebagai anak yang bungsu. Dalam Kehidupan sehari- hari Lolo selalu mendapat perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seluruh anggota keluarganya, segala keinginannya selalu dikabulkan oleh kedua orang tua serta kakak- kakaknya yang harus selalu mengalah kalau dihadapkan dengan keputusan yang bertentangan dengan kehendak Lolo. Segala hal yang berkaitan dengan urusan perut Lolo selalu didahulukan dari pada urusan yang lain. Setiap hari Lolo menikmati sajian masakan yang lezat, sebagai anugerah Opo Empung kepada penghuni hutan gunung Lolombulan yang subur dan kaya akan hewan buruan. Di samping menikmati makanan buah keringat ayahnya, Lolo juga sering memperoleh hadiah daging Ular Patola, Tikus kulo ipus, Kelelawar, dan daging hewan lainnya dari saudara ayahnya atau ibunya yang tinggal di dekat sumber mata air lain di kawasan kaki gunung Lolombulan. Kebahagiaan selalu mewarnai kehidupan kelompok manusia primitif ini, tidak pernah mereka merasakan kekurangan baik kebutuhan pangan maupun papan, apalagi untuk kebutuhan  sandang karena semuanya telah disediakan oleh alam. Mengenai kebutuhan sandang, mengenakan sehelai daunpun di tubuh Si Lolo merupakan hal yang menganggu  kelancaran aktivitasnya sehari- hari. Lolo tumbuh semakin hari semakin kuat dan lincah begitupun ketujuh kakak perempuannya terus tumbuh menjadi gadis- gadis yang cantik secantik alam hutan belantara yang sejuk dan hijau, semurni mata air yang mengalir ke sungai yang jernih.  Sebagai anak laki- laki satu-satunya di dalam keluarganya yang selalu dipelihara oleh Opo Empung, Lolo dan keluarganya tidak pernah mensyukuri berkat yang mereka terima, apalagi kelakuan Lolo yang manja, egois, serta pemalas, membuat Opo Empung mengurungkan niat-Nya untuk menganugerahkan aneka talenta istimewa kepadanya.

Pada suatu hari,  ketika Lolo hendak mengawali rutinitasnya sehari- hari yaitu bermain mengelilingi hutan untuk memungut buah pisang Mararagos/goroho yang banyak berjatuhan di sepanjang jalan yang ia lalui,  sungguh merupakan hari yang berbeda dengan hari- hari sebelumnya bahkan belum pernah ia alami sebelumnya. Lolo tidak menemukan buah pisang di jalanan seperti yang biasanya ia pungut dan dijadikannya pengalas perut ketika ia bermain. Tentu saja hal ini membuat Si Lolo merasa lapar dan haus. Sinar mataharipun semakin memanasi tubuh Lolo yang hanya ditutupi selembar daun Loloyan atau daun awar- awar, yang menutupi bagian kemaluannya. Lolo pun bergegas mencari mata air terdekat untuk minum dan mandi. Sudah menjadi kebiasaan setelah mandi Lolo mengambil daun Loloyan yang banyak tumbuh di sekitar mata air untuk menutupi salah satu bagian tubuh yang dianggapnya sangat berharga dan istimewa itu. Anehnya banyak daun Loloyan yang berserakan di sekitar tempat itu. Memang saudara- saudara perempuan Lolo juga sering mandi di tempat itu namun dalam pemikiran Lolo tidaklah munglin jika ketujuh orang kakaknya sengaja menghambur- hamburkan daun itu begitu saja. Ternyata peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya  telah menimpa ke tujuh orang kakaknya. Mereka diculik oleh pendatang baru yaitu anak- anak keluarga Toar- Lumimuut saat mereka selesai mandi tanpa sempat mengenakan daun Loloyan untuk menutupi tubuh mereka. Keluarga Toar dan Lumimuut merupakan pendatang baru di tempat itu. Mereka memiliki peradaban yang lebih maju dibanding kaum pribumi yang masih bergaya hidup yang primitif. Kelompok pendatang baru ini telah memiliki kemampuan berburu dengan perlengkapan berburu yang lebih baik, bahkan telah menguasai ilmu berperang. Sejak peristiwa itu keluarga Lolo terus diganggu oleh kelompok yang suka merusak hutan, merampas anak- anak gadis untuk dikawini, yang tentu saja memancing kemarahan kaum primitif. Terjadilah permusuhan antara kaum primitif yang mempertahankan hutan belantara sebagai istananya dengan anak- anak Toar- Lumimuut yang terus memperluas kawasannya karena didorong oleh pertambahan jumlah anggotanya. Anak- anak Toar – Lumimuut terus melangkah semakin jauh ke luar wilayahnya untuk berburu, mencari ikan, menculik para wanita untuk dijadikan pasangan hidup dan berketurunan dan sebaliknya hal ini semakin mempersempit kebebasan kaum primitif. Para wanita kaum primitif, walaupun diperlakukan dengan baik sebagai istri, namun di pihak kaum primitif dengan tindakan naluri alamiahnya terus berupaya mengambil kembali para wanitanya dan anak- anaknya hasil perkawinannya dengan anak- anak Toar dan Lumimuut dengan cara menculik. Hal ini tentu saja tidak bisa didiamkan oleh anak- anak Toar Lumimuut. Mereka pun berupaya mempertahankan keluarganya sehingga situasi permusuhan antara kedua belah piuhak semakin tidak dapat terbendung lagi. Pada akhirnya kaum primitif menjadi pihak yang kalah dan selalu dirugikan. Mereka berubah menjadi manusia- manusia yang buas bagi para lawannya. Pada akhirnya di pihak anak cucu Toar- Lumimuut muncul rasa takut kepada kaum primitif dan tidak leluasa melakukan perjalanan ke mana- mana sendirian atau dalam kelompok kecil. Mereka dihantui bahaya serangan kaum primitif yang tidak terduga waktunya menculik manusia dan merampas bahan makanan.

Sangat malang nasib si Lolo. Anak laki- laki bungsu satu-satunya di dalam keluarganya, sebagai anak kesayangan orang tuanya dan selalu dilindungi oleh saudara-saudaranya harus mengalami peristiwa tragis karena kehilangan kedua orang tuannya yang terkena mata panah dari musuh bersamaan dengan saat ketujuh saudaranya diculik dan dikawini oleh keturunan Toar Lumimuut. Si Lolo yang kehidupannya berubah drastis dari seorang anak manja yang hidup laksana pangeran di istana hutan belantara milik ayahnya kini hidup sebatang kara, dan kesulitan mencari makan. Si Lolo tidak pernah lagi melihat orang- orang yang membesarkan dan merawatnya bahkan harus menyaksikan puing- puing sabua kenangan tempat ia dilahirkan yang dibakar dan dijarah musuh. Tubuh Lolo bertambah besar namun tidak seiring dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan untuk bertahan hidup sebagai manusia untuk mengembangkan kehidupannya. Lolo masih terbiasa dengan cara hidupnya yang lama. Sejak kecil dia terbiasa untuk makan apa saja yang dia inginkan yang ada di hadapannya tanpa memikirkan siapa pemiliknya, untuk siapa atau siapa yang mengupayakannya. Kini Lolo terus bertahan dengan cara dan ciri kehidupan primitifnya. Lolo bersama sisa kaumnya yang terus berkurang dan mengalami kekalahan terus didorong mundur dan semakin terisolir dari sebuah peradaban baru, dan yang berangsur-angsur menghilang. Mereka terusir dan kehilangan tempat perteduhan yang semakin lama semakin digantikan oleh penghuni baru yang semakin bertambah banyak berkat sumbangsih buah kandungan kaum wanita primitif yang bersatu padu dengan benih keturunan Toar- Lumimuut, menjadi bangsa yang besar dan kuat yaitu kaum Malesung, sebagai dinasti pribumi baru penguasa kawasan gunung Lolombulan atau gunung bulan purnama.

Kaum Malesung seolah-olah tidak pernah menyadari bahwa mereka ada dan bertambah banyak berkat air susu ibu-ibu kaum primitif yang melahirkannya. Kaum Malesung selalu membangga- banggakan dirinya sebagai kaum keturunan bangsa seberang lautan dari arah utara yang terus mengejar dan meremehkan kaum primitif. Kaum primitif  yang kaum prianya sudah banyak yang tewas, kaum wanitanya yang terus dirampas sehingga mereka kekurangan rahim untuk mengandung dan melahirkan, namun meskipun sedikit dan terpencar tetap saja menjadi ancaman yang serius bagi kaum Malesung. Lolo pun berubah menjadi sosok yang rakus dan kelaparandan menjadi pencuri makanan yang sangat gesit dan selalu meresahkan kaum Malesung. Kebiasaannya adalah mencuri makanan yang sudah matang, beberapa kali Lolo tertangkap basah saat hendak mencuri makanan namun beruntungnya ia selalu dapat meloloskan diri. Suatu ketika beberapa anggota kaum Malesung menyiapkan ranjau berduri  untuk menangkapnya namun hanya daun Loloyan saja yang merupakan pakaian Lolo yang mereka dapatkan. Dari peristiwa itu Lolo disebut-sebut sebagai pencuri makanan tanpa pakaian sehelai benang pun. 

Dari perkawinan kedua kaum ini sebenarnya telah terjalin tali persaudaraan antara kedua pihak yang bertikai. Namun kenyataannya bukanlah persaudaraan yang terjalin tetapi permusuhan yang abadi. Hal ini mungkin bertentangan dengan dengan kehendak Sang Pencipta yang telah mengatur skenario kehidupan mereka untuk dipertemukan dan dipersatukan bukan saling memusuhi dan saling melenyapkan. Mungkin inilah yang menyebabkan murka Si Opo Empung, sehingga dihembuskannya angin  Amian/ utara atau yang dikenal pula dengan angin Ame’an yang artinya angin yang ditangisi kepada pihak yang bertikai dengan maksud menghentikan permusuhan ini. Angin ini dianggap sebagai angin petaka karena membawa bencana untuk mahluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuh- tumbuhan. Angin dari arah utara ini membawa penularan sakit- penyakit yang menular yang menyebabkan kematian. Dampak angin Amian yang dahsyat ini menyebabkan penduduk harus berpindah tempat untuk mencari pemukiman baru karena adanya penyebaran penyakit menular, belalang- belalang atau kutu- kutu penyakit tertentu ikut terbawa angin. Sungguh dahsyat kuasa Opo Empung dalam mengendalikan alam semesta beserta segala isinya. Kemunculan kaum Malesung yang berawal dari tiupan angin utara yang menghadirkan keluarga Toar- Lumimuut terdampar di tanah ini, dan Tiupan angin Amian yang menghentikan pertikaian Kaum Malesung dengan kaum primitif pribumi. Tiupan angin ini mengakhiri kisah tentang Si Lolo yang hilang terbawa angin ke selatan, lenyap di balik cahaya bulan purnama. Entah dia telah meninggal karena wabah penyakit yang dibawa oleh angin amian ataukah si Lolo tetap hidup dan menyembunyikan diri, hanya bulan purnama di puncak Gunung Lolombulan menjadi saksi bisu.

“Lolo” menjadi sebutan untuk alat kelamin laki- laki, sebagai bahan gurauan orang dewasa kepada anak kecil laki- laki saat selesai mandi atau belum berpakaian, dan kelihatan kemaluannya.  Selain itu, ada juga sebutan “pang balolo” artinya orang yang melakukan perbuatan mencuri makanan yang sudah matang seperti kebiasaan si Lolo, dan ketika ada anggota kaum Malesung yang hilang, maka “Makalulu”(sebutan kepada sisa- sisa kaum primitif) menjadi sasaran tuduhan di antara fakta atau fiksi, dari generasi ke generasi.