MANUSIA
TOMBULU
Oleh:
Frikho Fernando Polii
(SMA
Kosgoro Tomohon)
Manusia
sebagai mahluk yang paling mulia di antara segala ciptaan-Nya sebagai mahakarya
“Opo Um Puuna Ung” atau “Opo Empung” yang artinya Tuhan yang
terdahulu ada sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Manusia seakan-
akan tak pernah menyadari dan merasa puas dengan segala anugerah yang
diterimanya sejak ia dilahirkan ke dunia. Seperti kisah hidup anak- anak
keturunan Toar Lumimuut yang pada suatu masa, mereka mulai meninggalkan
pegunungan Wulur Mahatus tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, sebagai bagian
dari kelompok manusia yang menjadi cikal bakal anak- anak suku dari bangsa
Minahasa.
Ketika
jumlah mereka semakin bertambah banyak dan kuat, mulailah mereka menyebar dan
mencari tempat hidup baru sesuai perintah orang tua mereka dan demi
kelangsungan hidup generasi penerusnya. Dengan bekal berbagai teknik bertahan
hidup dan doa restu orang tua mereka, pergilah mereka untuk mengembara dan
meraih cita- cita mereka. Merekapun beranak- cucu dan bertambah banyak tanpa
ada rasa khawatir kelak akan kehabisan ruang di dunia ini untuk menampung semua
keturunan mereka, bahkan nafsu dan kesombongan akan kemampuan yang dimiliki
membuat mereka menjadi rakus dan ingin menguasai segala yang mereka temui.
Sampai pada akhirnya, ketika jumlah mereka semakin banyak terdoronglah mereka
untuk memisahkan diri dari kelompoknya dan membangun kelompok- kelompok baru
yang semakin lama semakin tidak saling mengenal satu sama lain dan menimbulkan
permusuhan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, tanpa mengingat
lagi bahwa mereka adalah saudara. Kelompok terkecil dalam masyarakat disebut “awu” artinya abu atau tempat memasak
berdinding kayu atau bambu yang berisi tanah dengan menggunakan kayu bakar.Masing-
masing anggota awu akan menyebut dirinya ka’awu
terhadap anggota lain pada awu tersebut. Ka’awu
atau satu tempat memasak, artinya dalam setiap awu atau keluarga besar dapat terdiri dari amang atau ayah, inang
atau ibu, anak yang sudah menikah beserta istrinya, anak yang belum menikah,
cucu dan dapat juga orang lain yang hidup dan makan bersama dengan ka’awu
tersebut entah itu saudara dari ayah atau ibu yang tidak menikah, bahkan
pembantu keluarga yang biasanya diperoleh akibat utang- piutang atau tawanan
dalam peperangan. Biasanya dalam satu awu dapat terdiri dari beberapa taranak
atau keluarga- keluarga kecil tergantung jumlah anak yang telah menikah dalam
satu awu. Kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa awu disebut wanua atau kampung yang kelak ketika
jumlahnya bertambah dapat disebut Walak atau kelompok masyarakat yang terdiri dari
beberapa taranak yang memiliki
persamaan garis keturunan.
Ada
satu walak yang terus menerus membuat
ulah yang sangat menyesakkan hati Opo Empung. Kelompok ini gemar mengganggu
ketenangan hidup kelompok yang lain, merampas milik kelompok lain, merusak alam
bahkan selalu menentang kekuasaan Si Opo Empung. Ketika hujan turun mereka
mengharapkan panas, begitupun sebaliknya ketika tidak turun hujan mereka
meminta musim hujan, seolah- olah merekalah yang mengatur kehendak Opo Empung Sang
Pencipta. Masih ada lagi perilaku buruk yang sangat meresahkan segala penghuni
alam ini, yaitu membuat keresahan dengan menutup setiap mata air yang menjadi
sumber kehidupan kelompok lain dan memakan hewan- hewan yang tidak berdosa
seperti anjing, tikus, kelekawar, ular, kucing, babi hutan , dan lain- lain.
Oleh
karena itulah “ Opo Empung” tidak lagi membiarkan kejahatan mereka. Opo Empung
segera memerintahkan anak buahnya yaitu Opo Lokon dan mengajak Opo Mahawu
bekerjasama membuka lebar- lebar setiap mata air yang ada di wilayahnya masing-
masing agar terjadi banjir yang sangat besar. Dengan disertai bunyi petir yang
bertubi- tubi, namun tanpa ada turunnya hujan setetespun di atas permukaan bumi,
banjir besar pun terjadi dalam masa satu
purnama hingga ke purnama berikutnya. Airpun tetap menggenangi seluruh dataran
rendah tempat tinggal walak yang jahat itu. Semua harta benda, segala sesuatu
yang berharga, segala yang diperebutkan dan segala yang dibangga- banggakan
oleh manusia- manusia kejam itu musnah tak tersisa, bahkan rasa ketakutan yang
sangat dahsyat meliputi mereka, sehingga mereka berupaya menyelamatkan diri ke
tempat- tempat yang lebih tinggi agar tidak tenggelam dan hanyut terbawa air. Sungguh
memilukan betapa tidak berdayanya manusia untuk menentang kemahakuasaan Si Opo
Empung. Hanya atas kemurahan hati-Nya sajalah sehingga manusia dapat luput dari
kemarahan-Nya.
Beberapa
waktu kemudian menyesallah Opo Empung atas bencana yang diciptakan-Nya,
sehingga Dia pun menghembuskan sedikit kekuatan kepada beberapa nyawa agar
dapat terus bertahan dalam balutan raganya, dan melanjutkan kehidupannya. Mereka
terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang berhasil menyelamatkan diri
pada dataran tinggi sebelah timur, dan kelompok yang berhasil menyelamatkan
diri pada dataran tinggi sebelah barat. Untuk dapat terus bertahan hidup,
mereka harus mengisi perutnya dengan memakan tumbuh- tumbuhan yang ada seperti
daun Pangi, daun Pepaya, sayur Bulu (anak bambu), batang Pisang yang disebut Sa’ut dengan menggunakan wadah batang
bambu untuk memasak, dengan dibakar menggunakan ranting- ranting pohon kering,
sedangkan lauknya diperoleh dengan cara memancing ikan di perairan yang
sebelumnya adalah dataran rendah yang kini menyatu dengan lautan dan danau
akibat banjir.
Dengan
membuat rakit yang terbuat dari batang bambu, mereka yang berada di sebelah
barat pergi memancing ikan ke arah timur dan mereka yang tinggal di sebelah
timur pun memancing ikan di sebelah barat. Beberapa waktu lamanya mereka
menjalani kehidupan seperti ini, sampai pada suatu saat mereka menyadari bahwa
ikan yang diperoleh di perairan sebelah timur memiliki kekhasan berupa jenis
ikan air tawar yaitu Lele, Mujair, Gabus, Payangka, dan sebagainya, sedangkan
ikan yang diperoleh di perairan sebelah barat berbeda dengan ikan yang
diperoleh di perairan sebelah timur yaitu terdapat banyak jenis ikan yang
berasal dari air asin berupa Cakalang, Tude, Roa, Teri, dan sebagainya. Melihat
perbedaan pada hasil pancingan mereka, maka nafsu ingin memiliki segalanya
kembali merasuki hati dan pikiran mereka, sehingga untuk memuaskan nafsu
keserakahan mereka terjadilah permusuhan antara kelompok barat dan kelompok
timur sehingga menyulut kembali kemarahan Si Opo Empung dan akibat perbuatan
mereka yang egois dan rakus , maka Opo Empung pun menyimpan ikan- ikan yang
terdapat di wilayah mereka masing- masing.
Karena mereka tidak lagi memperoleh ikan, kedua
kelompok mulai mencari sumber makanan lain, tanpa merefleksi diri, mengakui dan
memperbaiki kesalahan mereka. Mereka pun mencari dataran lain yang mereka yakini belum pernah ditempati
oleh umat manusia seorang pun, dengan maksud berburu hewan. Namun sayang sekali
di tempat ini pun mereka tidak memperoleh seekor pun hewan buruan. Ternyata Opo
Empung telah merancangkan hal ini dengan alasan bahwa meskipun seekor ikan saja
atau pun seekor hewan saja yang mereka peroleh tentu saja akan menjadi bahan
perebutan dan dapat menyebabkan saling membunuh di antara mereka.
Di
tengah suasana hati yang putus asa, rasa lapar, dan kelelahan, tertidurlah
mereka. Ketika itu Opo Empung memerintahkan opo- opo bawahannya untuk
mempersiapkan jamuan makan yang begitu besar dan menyediakan makanan- makanan
yang lezat di atas bebatuan lebar yang berada tidak jauh dari tanah lapang
tempat mereka berbaring. Ketika hari menjelang pagi, muncullah kawanan ayam diikuti
kawanan babi hutan, Anoa, Sapi, Anjing, Kucing, Tikus, Ular, Kelelawar dan
hewan- hewan lain, dan langsung menyerbu dan menyantap hidangan yang tersedia
sampai hari menjelang tengah hari.
Ketika
panas matahari mencapai puncaknya dan menerpa kepala orang- orang yang tertidur
itu, terbangunlah mereka dan menyaksikan pesta makan gratis dari hewan- hewan
yang mulanya menjadi incaran mereka untuk dimakan. Sambil meraih tombak mereka
bangkit hendak menangkap hewan- hewan tersebut namun dalam waktu sekejap
itupula hewan- hewan itu menghilang secara gaib.
Dengan
rasa kesal dan malu , merekapun duduk bersama sambal mengunyah sisa-sisa
makanan yang mereka temukan. Tanpa mengingat lagi akan masalah- masalah yang
terjadi sebelumnya, berbaurlah mereka sambil merenungi kesalahan masing- masing
dan mengambil hikmah dari kemustahilan – kemustahilan yang menimpa mereka sejak
terjadinya banjir yang tidak disebabkan oleh hujan, perbedaan jenis ikan hasil
pancingan mereka, serta hilangnya hewan- hewan secara gaib sehingga mereka pun
harus mengakui akan kemahakuasaan Si Opo Empung.
Setelah
menyadari penyebab dari semua peristiwa ini, merekapun mengakui kesalahan dan
melakukan upacara ma’ lusu ung atau malesung artinya meminta kepada Tuhan
dengan sungguh- sungguh. Hati Opo Empung pun terharu dan senang sehingga berangsur- angsur mulai surutlah air yang
menutupi dataran rendah.
Mereka
pun memutuskan untuk turun gunung sambil memungut biji- bijian dan segala
sesuatu yang dapat ditanam untuk dibawa pulang. Tempat itu mereka namakan gunung
Empung untuk mengenang pelajaran hidup yang diberikan oleh Opo Empung kepada
mereka. Gunung Empung dianggap sebagai gunung tempat bersemayamnya Opo Empung
dan para dewa- dewa atau opo- opo bawahannya. Selanjutnya mereka memberi nama
pada dataran tinggi sebelah timur dengan nama gunung Mahawu sebagai wilayah
kekuasaan Opo Mahawu, dan dataran tinggi yang berada di sebelah barat, mereka
namakan gunung Lokon sebagai wilayah kekuasaan opo Lokon.
Mereka
akhirnya mengerti akan misteri ikan asin yang diperoleh di perairan bagian
timur yang ternyata disebabkan karena di belakang gunung Mahawu terdapat danau
yang sangat luas yaitu danau Tondano dan misteri jenis ikan asin yang diperleh di perairan sebelah barat yang ternyata
disebabkan karena di belakang gunung
Lokon terdapat lautan yang sangat luas yang pada saat terjadinya banjir,
menyatu menjadi satu perairan.
Setelah
banjir benar- benar surut dan tanah siap ditanami, maka secara ber-“Mapalus”(gotong royong) mereka bekerja
keras mengolah tanah demi kelangsungan hidup mereka. Setiap pekerjaan yang ringan
maupun yang berat diselesaikan secara bersama- sama sambil mereka bernyanyi secara
berbalas- balasan:
“Ampuruk ing kuntungku rege- regesan
Maka tembo- tembome inataran
Ka saleen kaaruyen okalelon
Tumembo mei ing kayobaan
Mei mengalei e karia e katuari
Se cita im bayaan do ong ta iya sa
Maesa en ate omamemberenan
Eluren ing kayobaan”
Yang
artinya adalah: Di puncak gunung, setiap saat angin bertiup, terhampar padang
yang luas, mengasyikkan, menyenangkan serta merindukan. Memandang alam dari
atas gunung . Kami mohon wahai saudara dan teman. Kami semua yang ada di
kampong ini bersatu hati dan baku- baku sayang dalam mengatur dunia sekarang
ini.
Mereka
hidup rukun dan damai, menyelesaikan setiap permasalahan secara musyawarah atau
disebut “Paesa in deken” sambil terus
mewariskan nuwu in tu’a atau amanat
leluhur kepada anak cucu mereka, “…
Sapakem si kayo’ba’an anio , tana’ta imbaya. Asi endo makasa , sa me’em si
ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan en kayo’ ba’an. Tumani e kumeter, mapar
e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!” artinya “ Dengan ini kami
nyatakan , dunia ini adalah tanah air kita yang pasti, bagilah duniadunia ini
hai kamu pemuka masyarakatpemberi contoh. Bukalah wilayah pertanian baru, hai
kamu pemimpin pekerjaan. Kuasailah wilayah hai prajurit perkasa, agar keturunan
kita dapat hidup dan memberi hidup”.
Selanjutnya,
“Ta’an kawisa ke we’e andeken empused e opo” yang berarti, “ tetapi kapan saja berilah hatimu kepada
siapapun terutama Tuhan sebagai pusat segalanya” dan “Oh wengi pe’ keren mangkat ange, wengi keren mangkat imbale, yang
artinya berangkatlah kerja ketika hari masih gelap dan pulanglah kembali ketika
hari sudah gelap”.
Itulah yang menjadi pandangan hidup manusia yang tinggal
di antara gugusan gunung Mahawu, gunung Empung, gunung Lokon, gunung Kasehe, gunung
Masarang, gunung Tatawiran, gunung Tampusu, gunung Kalabat, dan gunung Manado
Tua. Mereka dikenal sebagai suku Tombulu.
Tombulu atau Tou
un wulur artinya adalah orang yang hidup di pegunungan, ada juga sebutan Tou un wulu atau orang- orang yang
berada di daerah yang ditumbuhi banyak bambu dan ada pula sebutan Tou Welu atau orang- orang yang
berpenampilan anggun dan memesona yang tercermin dari perilaku hidup beriman, cerdas,
suka bekerja keras, serta pantang bangun kesiangan, karena takut rezekinya
lebuh dulu di-kaskas/ dicakar/
diambil oleh ayam.
Manusia Tombulu terus menjaga kelestarian alam,
menyadari adanya malapetaka yang dapat muncul kapan saja yang disebabkan oleh kecerobohan
manusia seperti bahaya air bah atau banjir. Oleh karena itu mereka selalu
menjaga sumber- sumber air bahkan mengeramatkan sumber- sumber air yang ada dan
menyebutnya sebagai “kapeli’an atau
tempat suci”. Manusia Tombulu tetap mematuhi peli’i atau poso sebagai
penghormatan kepada op Empung dan roh para leluhur yang mereka anggap telah
menjelma menjadi dewa atau opo. Dalam kehidupan sehari- hari terdapat
ketentuan- ketentuan yang wajib dipatuhi seperti larangan- larangan untuk tidak mandi, bermain- main, membuat
keributan , atau memaki- maki di tempat- tempat yang diangap sebagai kapeli’an (suci, keramat) terlebih pada
saat tengah hari karena mereka percaya para leluhur tidak menghendaki orang-
orang yang tidak bekerja di siang hari, yang telah membersihkan dirinya sebelum
hari gelap.
Itulah penuturan Peli’i atau Polii sang waraney atau prajurit perkasa yang telah
purnabakti, pada malam itu di sabua
bambu dekat kapeli’an. Sesuai arti
namanya dia menjadi pelita bagi sesamanya, menemani hati yang kesepian, memberi
jalan keluar dari setiap permasalahan, membagikan pengalaman, dan terus
mengingatkan nuwu in tu’a ditemani
cahaya bulan dan warna – warni kunang –
kunang yang bolak – balik di depan matanya, hingga tiada lagi suara desahan
napas yang ada hanya suara Rierie dan
bunyi “to to sik” yang terdengar.