Jumat, 31 Juli 2020

MANUSIA TOMBULU (CERITA RAKYAT MANGSA MALESUNG)


MANUSIA TOMBULU

Oleh: Frikho Fernando Polii
(SMA Kosgoro Tomohon)

              Manusia sebagai mahluk yang paling mulia di antara segala ciptaan-Nya sebagai mahakarya “Opo Um Puuna Ung” atau “Opo Empung” yang artinya Tuhan yang terdahulu ada sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Manusia seakan- akan tak pernah menyadari dan merasa puas dengan segala anugerah yang diterimanya sejak ia dilahirkan ke dunia. Seperti kisah hidup anak- anak keturunan Toar Lumimuut yang pada suatu masa, mereka mulai meninggalkan pegunungan Wulur Mahatus tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, sebagai bagian dari kelompok manusia yang menjadi cikal bakal anak- anak suku dari bangsa Minahasa.
              Ketika jumlah mereka semakin bertambah banyak dan kuat, mulailah mereka menyebar dan mencari tempat hidup baru sesuai perintah orang tua mereka dan demi kelangsungan hidup generasi penerusnya. Dengan bekal berbagai teknik bertahan hidup dan doa restu orang tua mereka, pergilah mereka untuk mengembara dan meraih cita- cita mereka. Merekapun beranak- cucu dan bertambah banyak tanpa ada rasa khawatir kelak akan kehabisan ruang di dunia ini untuk menampung semua keturunan mereka, bahkan nafsu dan kesombongan akan kemampuan yang dimiliki membuat mereka menjadi rakus dan ingin menguasai segala yang mereka temui. Sampai pada akhirnya, ketika jumlah mereka semakin banyak terdoronglah mereka untuk memisahkan diri dari kelompoknya dan membangun kelompok- kelompok baru yang semakin lama semakin tidak saling mengenal satu sama lain dan menimbulkan permusuhan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, tanpa mengingat lagi bahwa mereka adalah saudara. Kelompok terkecil dalam masyarakat disebut “awu” artinya abu atau tempat memasak berdinding kayu atau bambu yang berisi tanah dengan menggunakan kayu bakar.Masing- masing anggota awu akan menyebut dirinya ka’awu terhadap anggota lain pada awu tersebut.  Ka’awu atau satu tempat memasak, artinya dalam setiap awu atau keluarga besar dapat terdiri dari amang atau ayah, inang atau ibu, anak yang sudah menikah beserta istrinya, anak yang belum menikah, cucu dan dapat juga orang lain yang hidup dan makan bersama dengan ka’awu tersebut entah itu saudara dari ayah atau ibu yang tidak menikah, bahkan pembantu keluarga yang biasanya diperoleh akibat utang- piutang atau tawanan dalam peperangan. Biasanya dalam satu awu dapat terdiri dari beberapa taranak atau keluarga- keluarga kecil tergantung jumlah anak yang telah menikah dalam satu awu. Kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa awu disebut wanua atau kampung yang kelak ketika jumlahnya bertambah dapat disebut Walak atau kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa taranak yang memiliki persamaan garis keturunan.
              Ada satu walak yang terus menerus membuat ulah yang sangat menyesakkan hati Opo Empung. Kelompok ini gemar mengganggu ketenangan hidup kelompok yang lain, merampas milik kelompok lain, merusak alam bahkan selalu menentang kekuasaan Si Opo Empung. Ketika hujan turun mereka mengharapkan panas, begitupun sebaliknya ketika tidak turun hujan mereka meminta musim hujan, seolah- olah merekalah yang mengatur kehendak Opo Empung Sang Pencipta. Masih ada lagi perilaku buruk yang sangat meresahkan segala penghuni alam ini, yaitu membuat keresahan dengan menutup setiap mata air yang menjadi sumber kehidupan kelompok lain dan memakan hewan- hewan yang tidak berdosa seperti anjing, tikus, kelekawar, ular, kucing,   babi hutan , dan lain- lain.
              Oleh karena itulah “ Opo Empung” tidak lagi membiarkan kejahatan mereka. Opo Empung segera memerintahkan anak buahnya yaitu Opo Lokon dan mengajak Opo Mahawu bekerjasama membuka lebar- lebar setiap mata air yang ada di wilayahnya masing- masing agar terjadi banjir yang sangat besar. Dengan disertai bunyi petir yang bertubi- tubi, namun tanpa ada turunnya hujan setetespun di atas permukaan bumi,  banjir besar pun terjadi dalam masa satu purnama hingga ke purnama berikutnya. Airpun tetap menggenangi seluruh dataran rendah tempat tinggal walak yang jahat itu. Semua harta benda, segala sesuatu yang berharga, segala yang diperebutkan dan segala yang dibangga- banggakan oleh manusia- manusia kejam itu musnah tak tersisa, bahkan rasa ketakutan yang sangat dahsyat meliputi mereka, sehingga mereka berupaya menyelamatkan diri ke tempat- tempat yang lebih tinggi agar tidak tenggelam dan hanyut terbawa air. Sungguh memilukan betapa tidak berdayanya manusia untuk menentang kemahakuasaan Si Opo Empung. Hanya atas kemurahan hati-Nya sajalah sehingga manusia dapat luput dari kemarahan-Nya.
              Beberapa waktu kemudian menyesallah Opo Empung atas bencana yang diciptakan-Nya, sehingga Dia pun menghembuskan sedikit kekuatan kepada beberapa nyawa agar dapat terus bertahan dalam balutan raganya, dan melanjutkan kehidupannya. Mereka terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang berhasil menyelamatkan diri pada dataran tinggi sebelah timur, dan kelompok yang berhasil menyelamatkan diri pada dataran tinggi sebelah barat. Untuk dapat terus bertahan hidup, mereka harus mengisi perutnya dengan memakan tumbuh- tumbuhan yang ada seperti daun Pangi, daun Pepaya, sayur Bulu (anak bambu), batang Pisang yang disebut Sa’ut dengan menggunakan wadah batang bambu untuk memasak, dengan dibakar menggunakan ranting- ranting pohon kering, sedangkan lauknya diperoleh dengan cara memancing ikan di perairan yang sebelumnya adalah dataran rendah yang kini menyatu dengan lautan dan danau akibat banjir.
              Dengan membuat rakit yang terbuat dari batang bambu, mereka yang berada di sebelah barat pergi memancing ikan ke arah timur dan mereka yang tinggal di sebelah timur pun memancing ikan di sebelah barat. Beberapa waktu lamanya mereka menjalani kehidupan seperti ini, sampai pada suatu saat mereka menyadari bahwa ikan yang diperoleh di perairan sebelah timur memiliki kekhasan berupa jenis ikan air tawar yaitu Lele, Mujair, Gabus, Payangka, dan sebagainya, sedangkan ikan yang diperoleh di perairan sebelah barat berbeda dengan ikan yang diperoleh di perairan sebelah timur yaitu terdapat banyak jenis ikan yang berasal dari air asin berupa Cakalang, Tude, Roa, Teri, dan sebagainya. Melihat perbedaan pada hasil pancingan mereka, maka nafsu ingin memiliki segalanya kembali merasuki hati dan pikiran mereka, sehingga untuk memuaskan nafsu keserakahan mereka terjadilah permusuhan antara kelompok barat dan kelompok timur sehingga menyulut kembali kemarahan Si Opo Empung dan akibat perbuatan mereka yang egois dan rakus , maka Opo Empung pun menyimpan ikan- ikan yang terdapat di wilayah mereka masing- masing.
               Karena mereka tidak lagi memperoleh ikan, kedua kelompok mulai mencari sumber makanan lain, tanpa merefleksi diri, mengakui dan memperbaiki kesalahan mereka. Mereka pun mencari dataran lain  yang mereka yakini belum pernah ditempati oleh umat manusia seorang pun, dengan maksud berburu hewan. Namun sayang sekali di tempat ini pun mereka tidak memperoleh seekor pun hewan buruan. Ternyata Opo Empung telah merancangkan hal ini dengan alasan bahwa meskipun seekor ikan saja atau pun seekor hewan saja yang mereka peroleh tentu saja akan menjadi bahan perebutan dan dapat menyebabkan saling membunuh di antara mereka.
              Di tengah suasana hati yang putus asa, rasa lapar, dan kelelahan, tertidurlah mereka. Ketika itu Opo Empung memerintahkan opo- opo bawahannya untuk mempersiapkan jamuan makan yang begitu besar dan menyediakan makanan- makanan yang lezat di atas bebatuan lebar yang berada tidak jauh dari tanah lapang tempat mereka berbaring. Ketika hari menjelang pagi, muncullah kawanan ayam diikuti kawanan babi hutan, Anoa, Sapi, Anjing, Kucing, Tikus, Ular, Kelelawar dan hewan- hewan lain, dan langsung menyerbu dan menyantap hidangan yang tersedia sampai hari menjelang tengah hari.
              Ketika panas matahari mencapai puncaknya dan menerpa kepala orang- orang yang tertidur itu, terbangunlah mereka dan menyaksikan pesta makan gratis dari hewan- hewan yang mulanya menjadi incaran mereka untuk dimakan. Sambil meraih tombak mereka bangkit hendak menangkap hewan- hewan tersebut namun dalam waktu sekejap itupula hewan- hewan itu menghilang secara gaib.
              Dengan rasa kesal dan malu , merekapun duduk bersama sambal mengunyah sisa-sisa makanan yang mereka temukan. Tanpa mengingat lagi akan masalah- masalah yang terjadi sebelumnya, berbaurlah mereka sambil merenungi kesalahan masing- masing dan mengambil hikmah dari kemustahilan – kemustahilan yang menimpa mereka sejak terjadinya banjir yang tidak disebabkan oleh hujan, perbedaan jenis ikan hasil pancingan mereka, serta hilangnya hewan- hewan secara gaib sehingga mereka pun harus mengakui akan kemahakuasaan Si Opo Empung.
              Setelah menyadari penyebab dari semua peristiwa ini, merekapun mengakui kesalahan dan melakukan upacara ma’ lusu ung atau malesung artinya meminta kepada Tuhan dengan sungguh- sungguh. Hati Opo Empung pun terharu dan senang sehingga  berangsur- angsur mulai surutlah air yang menutupi dataran rendah.
              Mereka pun memutuskan untuk turun gunung sambil memungut biji- bijian dan segala sesuatu yang dapat ditanam untuk dibawa pulang. Tempat itu mereka namakan gunung Empung untuk mengenang pelajaran hidup yang diberikan oleh Opo Empung kepada mereka. Gunung Empung dianggap sebagai gunung tempat bersemayamnya Opo Empung dan para dewa- dewa atau opo- opo bawahannya. Selanjutnya mereka memberi nama pada dataran tinggi sebelah timur dengan nama gunung Mahawu sebagai wilayah kekuasaan Opo Mahawu, dan dataran tinggi yang berada di sebelah barat, mereka namakan gunung Lokon sebagai wilayah kekuasaan opo Lokon.
              Mereka akhirnya mengerti akan misteri ikan asin yang diperoleh di perairan bagian timur yang ternyata disebabkan karena di belakang gunung Mahawu terdapat danau yang sangat luas yaitu danau Tondano dan misteri jenis ikan asin  yang diperleh di perairan sebelah barat yang ternyata disebabkan  karena di belakang gunung Lokon terdapat lautan yang sangat luas yang pada saat terjadinya banjir, menyatu menjadi satu perairan.
              Setelah banjir benar- benar surut dan tanah siap ditanami, maka secara ber-“Mapalus”(gotong royong) mereka bekerja keras mengolah tanah demi kelangsungan hidup mereka. Setiap pekerjaan yang ringan maupun yang berat diselesaikan secara bersama- sama sambil mereka bernyanyi secara berbalas- balasan:
“Ampuruk ing kuntungku rege- regesan
Maka tembo- tembome inataran
Ka saleen kaaruyen okalelon
Tumembo mei ing kayobaan
Mei mengalei e karia e katuari
Se cita im bayaan do ong ta iya sa
Maesa en ate omamemberenan
Eluren ing kayobaan”

              Yang artinya adalah: Di puncak gunung, setiap saat angin bertiup, terhampar padang yang luas, mengasyikkan, menyenangkan serta merindukan. Memandang alam dari atas gunung . Kami mohon wahai saudara dan teman. Kami semua yang ada di kampong ini bersatu hati dan baku- baku sayang dalam mengatur dunia sekarang ini.
              Mereka hidup rukun dan damai, menyelesaikan setiap permasalahan secara musyawarah atau disebut “Paesa in deken” sambil terus mewariskan nuwu in tu’a atau amanat leluhur kepada anak cucu mereka, “… Sapakem si kayo’ba’an anio , tana’ta imbaya. Asi endo makasa , sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan en kayo’ ba’an. Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!” artinya “ Dengan ini kami nyatakan , dunia ini adalah tanah air kita yang pasti, bagilah duniadunia ini hai kamu pemuka masyarakatpemberi contoh. Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan. Kuasailah wilayah hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup”.
Selanjutnya, “Ta’an kawisa ke we’e andeken empused e opo” yang berarti,  “ tetapi kapan saja berilah hatimu kepada siapapun terutama Tuhan sebagai pusat segalanya” dan “Oh wengi pe’ keren mangkat ange, wengi keren mangkat imbale, yang artinya berangkatlah kerja ketika hari masih gelap dan pulanglah kembali ketika hari sudah gelap”.
Itulah yang menjadi pandangan hidup manusia yang tinggal di antara gugusan gunung Mahawu, gunung Empung, gunung Lokon, gunung Kasehe, gunung Masarang, gunung Tatawiran, gunung Tampusu, gunung Kalabat, dan gunung Manado Tua. Mereka dikenal sebagai suku Tombulu.
Tombulu atau Tou un wulur artinya adalah orang yang hidup di pegunungan, ada juga sebutan Tou un wulu atau orang- orang yang berada di daerah yang ditumbuhi banyak bambu dan ada pula sebutan Tou Welu atau orang- orang yang berpenampilan anggun dan memesona yang tercermin dari perilaku hidup beriman, cerdas, suka bekerja keras, serta pantang bangun kesiangan, karena takut rezekinya lebuh dulu di-kaskas/ dicakar/ diambil oleh ayam.
Manusia Tombulu terus menjaga kelestarian alam, menyadari adanya malapetaka yang dapat muncul kapan saja yang disebabkan oleh kecerobohan manusia seperti bahaya air bah atau banjir. Oleh karena itu mereka selalu menjaga sumber- sumber air bahkan mengeramatkan sumber- sumber air yang ada dan menyebutnya sebagai “kapeli’an atau tempat suci”. Manusia Tombulu tetap mematuhi peli’i atau poso sebagai penghormatan kepada op Empung dan roh para leluhur yang mereka anggap telah menjelma menjadi dewa atau opo. Dalam kehidupan sehari- hari terdapat ketentuan- ketentuan yang wajib dipatuhi seperti larangan- larangan  untuk tidak mandi, bermain- main, membuat keributan , atau memaki- maki di tempat- tempat yang diangap sebagai kapeli’an (suci, keramat) terlebih pada saat tengah hari karena mereka percaya para leluhur tidak menghendaki orang- orang yang tidak bekerja di siang hari, yang telah membersihkan dirinya sebelum hari gelap.
Itulah penuturan Peli’i atau Polii sang waraney atau prajurit perkasa yang telah purnabakti, pada malam itu di sabua bambu dekat kapeli’an. Sesuai arti namanya dia menjadi pelita bagi sesamanya, menemani hati yang kesepian, memberi jalan keluar dari setiap permasalahan, membagikan pengalaman, dan terus mengingatkan nuwu in tu’a ditemani cahaya bulan dan warna – warni kunang – kunang yang bolak – balik di depan matanya, hingga tiada lagi suara desahan napas yang ada hanya suara Rierie dan bunyi “to to sik” yang terdengar.