Rabu, 02 September 2020

LOLO (cerita rakyat Minahasa)

 

CERITA RAKYAT “LOLO”

                                                                                                                                                Karya: Frikho Fernando Polii

Kulit gunung Lolombulan terus berubah warnanya dari hijau, menguning, dan menjadi semakin kecoklatan, dari masa lalu ke masa selanjutnya, terus ke masa depan. Begitupun perjalanan waktu yang terus berlaku dan berlalu dari suatu purnama ke purnama berikutnya, mengiringi pergantian penghuni bumi dari masa ke masa. Di antara purnama- purnama itu, ada satu purnama yang menjadi saksi kelahiran seorang anak manusia yang biografinya belum selesai sejak masa lampau.

Saat puncak Lolombulan mulai memerah dan menjadi kuning keemasan karena terpaan cahaya bulan.  Apa gerangan yang terjadi? Lolo dihadirkan oleh Opo Empung berkat sayatan pisau kulit bambu yang memutuskan tali pusarnya dari raga sang pemilik rahim. Pada masa itu memotong tali pusar bayi ketika dilahirkan cukup mengunakan lapisan paling luar kulit bambu yang sangat tajam tanpa menggunakan pisau, karena untuk memperoleh sebilah pisau masih lebih sulit dari pada memperoleh sekarung emas murni atau memburu 50 ekor hewan Anoa dalam sehari. Kelahiran Lolo mewarnai salah satu ciri dan sikap makhluk manusia yang hidup di salah satu bisul bumi di ujung paling utara pulau Sulawesi.  Lolo yang artinya “melihat ke atas” menjadi pilihan nama ayahnya oleh karena berita kelahirannya terdengar oleh orang- orang se-kaumnya dengan melihat ke atas dari kaki gunung Lolombulan. Saat itu di kawasan gunung Lolombulan dihuni oleh kelompok manusia primitif yang tidak mampu menuliskan sejarah peradabannya kepada generasi selanjutnya. Mereka bukanlah merupakan kelompok keturunan Toar dan Lumimuut sebagai cikal bakal suku Malesung/ Minahasa yang muncul belakangan bersamaan dengan tiupan angin utara dan terdampar dan menetap di tempat itu. Kelompok manusia primitif ini telah ada dalam kurun waktu yang  jauh sebelum keluarga  Toar dan Lumimuut terbentuk.

Keluarga Lolo tinggal dan menjalani  hari- hari kehidupan  mereka pada Sabua bambu dekat mata air. Umur Lolo kira- kira seumuran dengan pohon kelapa yang baru mulai mengeluarkan buah pertamanya, yang tumbuh subur di samping mata air itu. Di dalam Sabua ini Lolo hidup rukun dan damai bersama  kedua orangtuanya, serta ketujuh kakak perempuannya yang masing- masing umurnya berjarak kira- kira 24 kali purnama dihitung dari hari kelahiran si Lolo sebagai anak yang bungsu. Dalam Kehidupan sehari- hari Lolo selalu mendapat perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seluruh anggota keluarganya, segala keinginannya selalu dikabulkan oleh kedua orang tua serta kakak- kakaknya yang harus selalu mengalah kalau dihadapkan dengan keputusan yang bertentangan dengan kehendak Lolo. Segala hal yang berkaitan dengan urusan perut Lolo selalu didahulukan dari pada urusan yang lain. Setiap hari Lolo menikmati sajian masakan yang lezat, sebagai anugerah Opo Empung kepada penghuni hutan gunung Lolombulan yang subur dan kaya akan hewan buruan. Di samping menikmati makanan buah keringat ayahnya, Lolo juga sering memperoleh hadiah daging Ular Patola, Tikus kulo ipus, Kelelawar, dan daging hewan lainnya dari saudara ayahnya atau ibunya yang tinggal di dekat sumber mata air lain di kawasan kaki gunung Lolombulan. Kebahagiaan selalu mewarnai kehidupan kelompok manusia primitif ini, tidak pernah mereka merasakan kekurangan baik kebutuhan pangan maupun papan, apalagi untuk kebutuhan  sandang karena semuanya telah disediakan oleh alam. Mengenai kebutuhan sandang, mengenakan sehelai daunpun di tubuh Si Lolo merupakan hal yang menganggu  kelancaran aktivitasnya sehari- hari. Lolo tumbuh semakin hari semakin kuat dan lincah begitupun ketujuh kakak perempuannya terus tumbuh menjadi gadis- gadis yang cantik secantik alam hutan belantara yang sejuk dan hijau, semurni mata air yang mengalir ke sungai yang jernih.  Sebagai anak laki- laki satu-satunya di dalam keluarganya yang selalu dipelihara oleh Opo Empung, Lolo dan keluarganya tidak pernah mensyukuri berkat yang mereka terima, apalagi kelakuan Lolo yang manja, egois, serta pemalas, membuat Opo Empung mengurungkan niat-Nya untuk menganugerahkan aneka talenta istimewa kepadanya.

Pada suatu hari,  ketika Lolo hendak mengawali rutinitasnya sehari- hari yaitu bermain mengelilingi hutan untuk memungut buah pisang Mararagos/goroho yang banyak berjatuhan di sepanjang jalan yang ia lalui,  sungguh merupakan hari yang berbeda dengan hari- hari sebelumnya bahkan belum pernah ia alami sebelumnya. Lolo tidak menemukan buah pisang di jalanan seperti yang biasanya ia pungut dan dijadikannya pengalas perut ketika ia bermain. Tentu saja hal ini membuat Si Lolo merasa lapar dan haus. Sinar mataharipun semakin memanasi tubuh Lolo yang hanya ditutupi selembar daun Loloyan atau daun awar- awar, yang menutupi bagian kemaluannya. Lolo pun bergegas mencari mata air terdekat untuk minum dan mandi. Sudah menjadi kebiasaan setelah mandi Lolo mengambil daun Loloyan yang banyak tumbuh di sekitar mata air untuk menutupi salah satu bagian tubuh yang dianggapnya sangat berharga dan istimewa itu. Anehnya banyak daun Loloyan yang berserakan di sekitar tempat itu. Memang saudara- saudara perempuan Lolo juga sering mandi di tempat itu namun dalam pemikiran Lolo tidaklah munglin jika ketujuh orang kakaknya sengaja menghambur- hamburkan daun itu begitu saja. Ternyata peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya  telah menimpa ke tujuh orang kakaknya. Mereka diculik oleh pendatang baru yaitu anak- anak keluarga Toar- Lumimuut saat mereka selesai mandi tanpa sempat mengenakan daun Loloyan untuk menutupi tubuh mereka. Keluarga Toar dan Lumimuut merupakan pendatang baru di tempat itu. Mereka memiliki peradaban yang lebih maju dibanding kaum pribumi yang masih bergaya hidup yang primitif. Kelompok pendatang baru ini telah memiliki kemampuan berburu dengan perlengkapan berburu yang lebih baik, bahkan telah menguasai ilmu berperang. Sejak peristiwa itu keluarga Lolo terus diganggu oleh kelompok yang suka merusak hutan, merampas anak- anak gadis untuk dikawini, yang tentu saja memancing kemarahan kaum primitif. Terjadilah permusuhan antara kaum primitif yang mempertahankan hutan belantara sebagai istananya dengan anak- anak Toar- Lumimuut yang terus memperluas kawasannya karena didorong oleh pertambahan jumlah anggotanya. Anak- anak Toar – Lumimuut terus melangkah semakin jauh ke luar wilayahnya untuk berburu, mencari ikan, menculik para wanita untuk dijadikan pasangan hidup dan berketurunan dan sebaliknya hal ini semakin mempersempit kebebasan kaum primitif. Para wanita kaum primitif, walaupun diperlakukan dengan baik sebagai istri, namun di pihak kaum primitif dengan tindakan naluri alamiahnya terus berupaya mengambil kembali para wanitanya dan anak- anaknya hasil perkawinannya dengan anak- anak Toar dan Lumimuut dengan cara menculik. Hal ini tentu saja tidak bisa didiamkan oleh anak- anak Toar Lumimuut. Mereka pun berupaya mempertahankan keluarganya sehingga situasi permusuhan antara kedua belah piuhak semakin tidak dapat terbendung lagi. Pada akhirnya kaum primitif menjadi pihak yang kalah dan selalu dirugikan. Mereka berubah menjadi manusia- manusia yang buas bagi para lawannya. Pada akhirnya di pihak anak cucu Toar- Lumimuut muncul rasa takut kepada kaum primitif dan tidak leluasa melakukan perjalanan ke mana- mana sendirian atau dalam kelompok kecil. Mereka dihantui bahaya serangan kaum primitif yang tidak terduga waktunya menculik manusia dan merampas bahan makanan.

Sangat malang nasib si Lolo. Anak laki- laki bungsu satu-satunya di dalam keluarganya, sebagai anak kesayangan orang tuanya dan selalu dilindungi oleh saudara-saudaranya harus mengalami peristiwa tragis karena kehilangan kedua orang tuannya yang terkena mata panah dari musuh bersamaan dengan saat ketujuh saudaranya diculik dan dikawini oleh keturunan Toar Lumimuut. Si Lolo yang kehidupannya berubah drastis dari seorang anak manja yang hidup laksana pangeran di istana hutan belantara milik ayahnya kini hidup sebatang kara, dan kesulitan mencari makan. Si Lolo tidak pernah lagi melihat orang- orang yang membesarkan dan merawatnya bahkan harus menyaksikan puing- puing sabua kenangan tempat ia dilahirkan yang dibakar dan dijarah musuh. Tubuh Lolo bertambah besar namun tidak seiring dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan untuk bertahan hidup sebagai manusia untuk mengembangkan kehidupannya. Lolo masih terbiasa dengan cara hidupnya yang lama. Sejak kecil dia terbiasa untuk makan apa saja yang dia inginkan yang ada di hadapannya tanpa memikirkan siapa pemiliknya, untuk siapa atau siapa yang mengupayakannya. Kini Lolo terus bertahan dengan cara dan ciri kehidupan primitifnya. Lolo bersama sisa kaumnya yang terus berkurang dan mengalami kekalahan terus didorong mundur dan semakin terisolir dari sebuah peradaban baru, dan yang berangsur-angsur menghilang. Mereka terusir dan kehilangan tempat perteduhan yang semakin lama semakin digantikan oleh penghuni baru yang semakin bertambah banyak berkat sumbangsih buah kandungan kaum wanita primitif yang bersatu padu dengan benih keturunan Toar- Lumimuut, menjadi bangsa yang besar dan kuat yaitu kaum Malesung, sebagai dinasti pribumi baru penguasa kawasan gunung Lolombulan atau gunung bulan purnama.

Kaum Malesung seolah-olah tidak pernah menyadari bahwa mereka ada dan bertambah banyak berkat air susu ibu-ibu kaum primitif yang melahirkannya. Kaum Malesung selalu membangga- banggakan dirinya sebagai kaum keturunan bangsa seberang lautan dari arah utara yang terus mengejar dan meremehkan kaum primitif. Kaum primitif  yang kaum prianya sudah banyak yang tewas, kaum wanitanya yang terus dirampas sehingga mereka kekurangan rahim untuk mengandung dan melahirkan, namun meskipun sedikit dan terpencar tetap saja menjadi ancaman yang serius bagi kaum Malesung. Lolo pun berubah menjadi sosok yang rakus dan kelaparandan menjadi pencuri makanan yang sangat gesit dan selalu meresahkan kaum Malesung. Kebiasaannya adalah mencuri makanan yang sudah matang, beberapa kali Lolo tertangkap basah saat hendak mencuri makanan namun beruntungnya ia selalu dapat meloloskan diri. Suatu ketika beberapa anggota kaum Malesung menyiapkan ranjau berduri  untuk menangkapnya namun hanya daun Loloyan saja yang merupakan pakaian Lolo yang mereka dapatkan. Dari peristiwa itu Lolo disebut-sebut sebagai pencuri makanan tanpa pakaian sehelai benang pun. 

Dari perkawinan kedua kaum ini sebenarnya telah terjalin tali persaudaraan antara kedua pihak yang bertikai. Namun kenyataannya bukanlah persaudaraan yang terjalin tetapi permusuhan yang abadi. Hal ini mungkin bertentangan dengan dengan kehendak Sang Pencipta yang telah mengatur skenario kehidupan mereka untuk dipertemukan dan dipersatukan bukan saling memusuhi dan saling melenyapkan. Mungkin inilah yang menyebabkan murka Si Opo Empung, sehingga dihembuskannya angin  Amian/ utara atau yang dikenal pula dengan angin Ame’an yang artinya angin yang ditangisi kepada pihak yang bertikai dengan maksud menghentikan permusuhan ini. Angin ini dianggap sebagai angin petaka karena membawa bencana untuk mahluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuh- tumbuhan. Angin dari arah utara ini membawa penularan sakit- penyakit yang menular yang menyebabkan kematian. Dampak angin Amian yang dahsyat ini menyebabkan penduduk harus berpindah tempat untuk mencari pemukiman baru karena adanya penyebaran penyakit menular, belalang- belalang atau kutu- kutu penyakit tertentu ikut terbawa angin. Sungguh dahsyat kuasa Opo Empung dalam mengendalikan alam semesta beserta segala isinya. Kemunculan kaum Malesung yang berawal dari tiupan angin utara yang menghadirkan keluarga Toar- Lumimuut terdampar di tanah ini, dan Tiupan angin Amian yang menghentikan pertikaian Kaum Malesung dengan kaum primitif pribumi. Tiupan angin ini mengakhiri kisah tentang Si Lolo yang hilang terbawa angin ke selatan, lenyap di balik cahaya bulan purnama. Entah dia telah meninggal karena wabah penyakit yang dibawa oleh angin amian ataukah si Lolo tetap hidup dan menyembunyikan diri, hanya bulan purnama di puncak Gunung Lolombulan menjadi saksi bisu.

“Lolo” menjadi sebutan untuk alat kelamin laki- laki, sebagai bahan gurauan orang dewasa kepada anak kecil laki- laki saat selesai mandi atau belum berpakaian, dan kelihatan kemaluannya.  Selain itu, ada juga sebutan “pang balolo” artinya orang yang melakukan perbuatan mencuri makanan yang sudah matang seperti kebiasaan si Lolo, dan ketika ada anggota kaum Malesung yang hilang, maka “Makalulu”(sebutan kepada sisa- sisa kaum primitif) menjadi sasaran tuduhan di antara fakta atau fiksi, dari generasi ke generasi.

Jumat, 31 Juli 2020

MANUSIA TOMBULU (CERITA RAKYAT MANGSA MALESUNG)


MANUSIA TOMBULU

Oleh: Frikho Fernando Polii
(SMA Kosgoro Tomohon)

              Manusia sebagai mahluk yang paling mulia di antara segala ciptaan-Nya sebagai mahakarya “Opo Um Puuna Ung” atau “Opo Empung” yang artinya Tuhan yang terdahulu ada sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Manusia seakan- akan tak pernah menyadari dan merasa puas dengan segala anugerah yang diterimanya sejak ia dilahirkan ke dunia. Seperti kisah hidup anak- anak keturunan Toar Lumimuut yang pada suatu masa, mereka mulai meninggalkan pegunungan Wulur Mahatus tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, sebagai bagian dari kelompok manusia yang menjadi cikal bakal anak- anak suku dari bangsa Minahasa.
              Ketika jumlah mereka semakin bertambah banyak dan kuat, mulailah mereka menyebar dan mencari tempat hidup baru sesuai perintah orang tua mereka dan demi kelangsungan hidup generasi penerusnya. Dengan bekal berbagai teknik bertahan hidup dan doa restu orang tua mereka, pergilah mereka untuk mengembara dan meraih cita- cita mereka. Merekapun beranak- cucu dan bertambah banyak tanpa ada rasa khawatir kelak akan kehabisan ruang di dunia ini untuk menampung semua keturunan mereka, bahkan nafsu dan kesombongan akan kemampuan yang dimiliki membuat mereka menjadi rakus dan ingin menguasai segala yang mereka temui. Sampai pada akhirnya, ketika jumlah mereka semakin banyak terdoronglah mereka untuk memisahkan diri dari kelompoknya dan membangun kelompok- kelompok baru yang semakin lama semakin tidak saling mengenal satu sama lain dan menimbulkan permusuhan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, tanpa mengingat lagi bahwa mereka adalah saudara. Kelompok terkecil dalam masyarakat disebut “awu” artinya abu atau tempat memasak berdinding kayu atau bambu yang berisi tanah dengan menggunakan kayu bakar.Masing- masing anggota awu akan menyebut dirinya ka’awu terhadap anggota lain pada awu tersebut.  Ka’awu atau satu tempat memasak, artinya dalam setiap awu atau keluarga besar dapat terdiri dari amang atau ayah, inang atau ibu, anak yang sudah menikah beserta istrinya, anak yang belum menikah, cucu dan dapat juga orang lain yang hidup dan makan bersama dengan ka’awu tersebut entah itu saudara dari ayah atau ibu yang tidak menikah, bahkan pembantu keluarga yang biasanya diperoleh akibat utang- piutang atau tawanan dalam peperangan. Biasanya dalam satu awu dapat terdiri dari beberapa taranak atau keluarga- keluarga kecil tergantung jumlah anak yang telah menikah dalam satu awu. Kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa awu disebut wanua atau kampung yang kelak ketika jumlahnya bertambah dapat disebut Walak atau kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa taranak yang memiliki persamaan garis keturunan.
              Ada satu walak yang terus menerus membuat ulah yang sangat menyesakkan hati Opo Empung. Kelompok ini gemar mengganggu ketenangan hidup kelompok yang lain, merampas milik kelompok lain, merusak alam bahkan selalu menentang kekuasaan Si Opo Empung. Ketika hujan turun mereka mengharapkan panas, begitupun sebaliknya ketika tidak turun hujan mereka meminta musim hujan, seolah- olah merekalah yang mengatur kehendak Opo Empung Sang Pencipta. Masih ada lagi perilaku buruk yang sangat meresahkan segala penghuni alam ini, yaitu membuat keresahan dengan menutup setiap mata air yang menjadi sumber kehidupan kelompok lain dan memakan hewan- hewan yang tidak berdosa seperti anjing, tikus, kelekawar, ular, kucing,   babi hutan , dan lain- lain.
              Oleh karena itulah “ Opo Empung” tidak lagi membiarkan kejahatan mereka. Opo Empung segera memerintahkan anak buahnya yaitu Opo Lokon dan mengajak Opo Mahawu bekerjasama membuka lebar- lebar setiap mata air yang ada di wilayahnya masing- masing agar terjadi banjir yang sangat besar. Dengan disertai bunyi petir yang bertubi- tubi, namun tanpa ada turunnya hujan setetespun di atas permukaan bumi,  banjir besar pun terjadi dalam masa satu purnama hingga ke purnama berikutnya. Airpun tetap menggenangi seluruh dataran rendah tempat tinggal walak yang jahat itu. Semua harta benda, segala sesuatu yang berharga, segala yang diperebutkan dan segala yang dibangga- banggakan oleh manusia- manusia kejam itu musnah tak tersisa, bahkan rasa ketakutan yang sangat dahsyat meliputi mereka, sehingga mereka berupaya menyelamatkan diri ke tempat- tempat yang lebih tinggi agar tidak tenggelam dan hanyut terbawa air. Sungguh memilukan betapa tidak berdayanya manusia untuk menentang kemahakuasaan Si Opo Empung. Hanya atas kemurahan hati-Nya sajalah sehingga manusia dapat luput dari kemarahan-Nya.
              Beberapa waktu kemudian menyesallah Opo Empung atas bencana yang diciptakan-Nya, sehingga Dia pun menghembuskan sedikit kekuatan kepada beberapa nyawa agar dapat terus bertahan dalam balutan raganya, dan melanjutkan kehidupannya. Mereka terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang berhasil menyelamatkan diri pada dataran tinggi sebelah timur, dan kelompok yang berhasil menyelamatkan diri pada dataran tinggi sebelah barat. Untuk dapat terus bertahan hidup, mereka harus mengisi perutnya dengan memakan tumbuh- tumbuhan yang ada seperti daun Pangi, daun Pepaya, sayur Bulu (anak bambu), batang Pisang yang disebut Sa’ut dengan menggunakan wadah batang bambu untuk memasak, dengan dibakar menggunakan ranting- ranting pohon kering, sedangkan lauknya diperoleh dengan cara memancing ikan di perairan yang sebelumnya adalah dataran rendah yang kini menyatu dengan lautan dan danau akibat banjir.
              Dengan membuat rakit yang terbuat dari batang bambu, mereka yang berada di sebelah barat pergi memancing ikan ke arah timur dan mereka yang tinggal di sebelah timur pun memancing ikan di sebelah barat. Beberapa waktu lamanya mereka menjalani kehidupan seperti ini, sampai pada suatu saat mereka menyadari bahwa ikan yang diperoleh di perairan sebelah timur memiliki kekhasan berupa jenis ikan air tawar yaitu Lele, Mujair, Gabus, Payangka, dan sebagainya, sedangkan ikan yang diperoleh di perairan sebelah barat berbeda dengan ikan yang diperoleh di perairan sebelah timur yaitu terdapat banyak jenis ikan yang berasal dari air asin berupa Cakalang, Tude, Roa, Teri, dan sebagainya. Melihat perbedaan pada hasil pancingan mereka, maka nafsu ingin memiliki segalanya kembali merasuki hati dan pikiran mereka, sehingga untuk memuaskan nafsu keserakahan mereka terjadilah permusuhan antara kelompok barat dan kelompok timur sehingga menyulut kembali kemarahan Si Opo Empung dan akibat perbuatan mereka yang egois dan rakus , maka Opo Empung pun menyimpan ikan- ikan yang terdapat di wilayah mereka masing- masing.
               Karena mereka tidak lagi memperoleh ikan, kedua kelompok mulai mencari sumber makanan lain, tanpa merefleksi diri, mengakui dan memperbaiki kesalahan mereka. Mereka pun mencari dataran lain  yang mereka yakini belum pernah ditempati oleh umat manusia seorang pun, dengan maksud berburu hewan. Namun sayang sekali di tempat ini pun mereka tidak memperoleh seekor pun hewan buruan. Ternyata Opo Empung telah merancangkan hal ini dengan alasan bahwa meskipun seekor ikan saja atau pun seekor hewan saja yang mereka peroleh tentu saja akan menjadi bahan perebutan dan dapat menyebabkan saling membunuh di antara mereka.
              Di tengah suasana hati yang putus asa, rasa lapar, dan kelelahan, tertidurlah mereka. Ketika itu Opo Empung memerintahkan opo- opo bawahannya untuk mempersiapkan jamuan makan yang begitu besar dan menyediakan makanan- makanan yang lezat di atas bebatuan lebar yang berada tidak jauh dari tanah lapang tempat mereka berbaring. Ketika hari menjelang pagi, muncullah kawanan ayam diikuti kawanan babi hutan, Anoa, Sapi, Anjing, Kucing, Tikus, Ular, Kelelawar dan hewan- hewan lain, dan langsung menyerbu dan menyantap hidangan yang tersedia sampai hari menjelang tengah hari.
              Ketika panas matahari mencapai puncaknya dan menerpa kepala orang- orang yang tertidur itu, terbangunlah mereka dan menyaksikan pesta makan gratis dari hewan- hewan yang mulanya menjadi incaran mereka untuk dimakan. Sambil meraih tombak mereka bangkit hendak menangkap hewan- hewan tersebut namun dalam waktu sekejap itupula hewan- hewan itu menghilang secara gaib.
              Dengan rasa kesal dan malu , merekapun duduk bersama sambal mengunyah sisa-sisa makanan yang mereka temukan. Tanpa mengingat lagi akan masalah- masalah yang terjadi sebelumnya, berbaurlah mereka sambil merenungi kesalahan masing- masing dan mengambil hikmah dari kemustahilan – kemustahilan yang menimpa mereka sejak terjadinya banjir yang tidak disebabkan oleh hujan, perbedaan jenis ikan hasil pancingan mereka, serta hilangnya hewan- hewan secara gaib sehingga mereka pun harus mengakui akan kemahakuasaan Si Opo Empung.
              Setelah menyadari penyebab dari semua peristiwa ini, merekapun mengakui kesalahan dan melakukan upacara ma’ lusu ung atau malesung artinya meminta kepada Tuhan dengan sungguh- sungguh. Hati Opo Empung pun terharu dan senang sehingga  berangsur- angsur mulai surutlah air yang menutupi dataran rendah.
              Mereka pun memutuskan untuk turun gunung sambil memungut biji- bijian dan segala sesuatu yang dapat ditanam untuk dibawa pulang. Tempat itu mereka namakan gunung Empung untuk mengenang pelajaran hidup yang diberikan oleh Opo Empung kepada mereka. Gunung Empung dianggap sebagai gunung tempat bersemayamnya Opo Empung dan para dewa- dewa atau opo- opo bawahannya. Selanjutnya mereka memberi nama pada dataran tinggi sebelah timur dengan nama gunung Mahawu sebagai wilayah kekuasaan Opo Mahawu, dan dataran tinggi yang berada di sebelah barat, mereka namakan gunung Lokon sebagai wilayah kekuasaan opo Lokon.
              Mereka akhirnya mengerti akan misteri ikan asin yang diperoleh di perairan bagian timur yang ternyata disebabkan karena di belakang gunung Mahawu terdapat danau yang sangat luas yaitu danau Tondano dan misteri jenis ikan asin  yang diperleh di perairan sebelah barat yang ternyata disebabkan  karena di belakang gunung Lokon terdapat lautan yang sangat luas yang pada saat terjadinya banjir, menyatu menjadi satu perairan.
              Setelah banjir benar- benar surut dan tanah siap ditanami, maka secara ber-“Mapalus”(gotong royong) mereka bekerja keras mengolah tanah demi kelangsungan hidup mereka. Setiap pekerjaan yang ringan maupun yang berat diselesaikan secara bersama- sama sambil mereka bernyanyi secara berbalas- balasan:
“Ampuruk ing kuntungku rege- regesan
Maka tembo- tembome inataran
Ka saleen kaaruyen okalelon
Tumembo mei ing kayobaan
Mei mengalei e karia e katuari
Se cita im bayaan do ong ta iya sa
Maesa en ate omamemberenan
Eluren ing kayobaan”

              Yang artinya adalah: Di puncak gunung, setiap saat angin bertiup, terhampar padang yang luas, mengasyikkan, menyenangkan serta merindukan. Memandang alam dari atas gunung . Kami mohon wahai saudara dan teman. Kami semua yang ada di kampong ini bersatu hati dan baku- baku sayang dalam mengatur dunia sekarang ini.
              Mereka hidup rukun dan damai, menyelesaikan setiap permasalahan secara musyawarah atau disebut “Paesa in deken” sambil terus mewariskan nuwu in tu’a atau amanat leluhur kepada anak cucu mereka, “… Sapakem si kayo’ba’an anio , tana’ta imbaya. Asi endo makasa , sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan en kayo’ ba’an. Tumani e kumeter, mapar e waraney, akad se tu’us, tumow on tumow tow!” artinya “ Dengan ini kami nyatakan , dunia ini adalah tanah air kita yang pasti, bagilah duniadunia ini hai kamu pemuka masyarakatpemberi contoh. Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin pekerjaan. Kuasailah wilayah hai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup”.
Selanjutnya, “Ta’an kawisa ke we’e andeken empused e opo” yang berarti,  “ tetapi kapan saja berilah hatimu kepada siapapun terutama Tuhan sebagai pusat segalanya” dan “Oh wengi pe’ keren mangkat ange, wengi keren mangkat imbale, yang artinya berangkatlah kerja ketika hari masih gelap dan pulanglah kembali ketika hari sudah gelap”.
Itulah yang menjadi pandangan hidup manusia yang tinggal di antara gugusan gunung Mahawu, gunung Empung, gunung Lokon, gunung Kasehe, gunung Masarang, gunung Tatawiran, gunung Tampusu, gunung Kalabat, dan gunung Manado Tua. Mereka dikenal sebagai suku Tombulu.
Tombulu atau Tou un wulur artinya adalah orang yang hidup di pegunungan, ada juga sebutan Tou un wulu atau orang- orang yang berada di daerah yang ditumbuhi banyak bambu dan ada pula sebutan Tou Welu atau orang- orang yang berpenampilan anggun dan memesona yang tercermin dari perilaku hidup beriman, cerdas, suka bekerja keras, serta pantang bangun kesiangan, karena takut rezekinya lebuh dulu di-kaskas/ dicakar/ diambil oleh ayam.
Manusia Tombulu terus menjaga kelestarian alam, menyadari adanya malapetaka yang dapat muncul kapan saja yang disebabkan oleh kecerobohan manusia seperti bahaya air bah atau banjir. Oleh karena itu mereka selalu menjaga sumber- sumber air bahkan mengeramatkan sumber- sumber air yang ada dan menyebutnya sebagai “kapeli’an atau tempat suci”. Manusia Tombulu tetap mematuhi peli’i atau poso sebagai penghormatan kepada op Empung dan roh para leluhur yang mereka anggap telah menjelma menjadi dewa atau opo. Dalam kehidupan sehari- hari terdapat ketentuan- ketentuan yang wajib dipatuhi seperti larangan- larangan  untuk tidak mandi, bermain- main, membuat keributan , atau memaki- maki di tempat- tempat yang diangap sebagai kapeli’an (suci, keramat) terlebih pada saat tengah hari karena mereka percaya para leluhur tidak menghendaki orang- orang yang tidak bekerja di siang hari, yang telah membersihkan dirinya sebelum hari gelap.
Itulah penuturan Peli’i atau Polii sang waraney atau prajurit perkasa yang telah purnabakti, pada malam itu di sabua bambu dekat kapeli’an. Sesuai arti namanya dia menjadi pelita bagi sesamanya, menemani hati yang kesepian, memberi jalan keluar dari setiap permasalahan, membagikan pengalaman, dan terus mengingatkan nuwu in tu’a ditemani cahaya bulan dan warna – warni kunang – kunang yang bolak – balik di depan matanya, hingga tiada lagi suara desahan napas yang ada hanya suara Rierie dan bunyi “to to sik” yang terdengar.