CERITA
RAKYAT “LOLO”
Karya:
Frikho Fernando Polii
Kulit gunung Lolombulan terus berubah warnanya dari hijau, menguning,
dan menjadi semakin kecoklatan, dari masa lalu ke masa selanjutnya, terus ke
masa depan. Begitupun perjalanan waktu yang terus berlaku dan berlalu dari suatu
purnama ke purnama berikutnya, mengiringi pergantian penghuni bumi dari masa ke
masa. Di antara purnama- purnama itu, ada satu purnama yang menjadi saksi
kelahiran seorang anak manusia yang biografinya belum selesai sejak masa lampau.
Saat puncak Lolombulan mulai memerah dan menjadi kuning keemasan
karena terpaan cahaya bulan. Apa
gerangan yang terjadi? Lolo dihadirkan oleh Opo Empung berkat sayatan pisau
kulit bambu yang memutuskan tali pusarnya dari raga sang pemilik rahim. Pada
masa itu memotong tali pusar bayi ketika dilahirkan cukup mengunakan lapisan
paling luar kulit bambu yang sangat tajam tanpa menggunakan pisau, karena untuk
memperoleh sebilah pisau masih lebih sulit dari pada memperoleh sekarung emas
murni atau memburu 50 ekor hewan Anoa dalam sehari. Kelahiran Lolo mewarnai
salah satu ciri dan sikap makhluk manusia yang hidup di salah satu bisul bumi di
ujung paling utara pulau Sulawesi. Lolo
yang artinya “melihat ke atas” menjadi pilihan nama ayahnya oleh karena berita
kelahirannya terdengar oleh orang- orang se-kaumnya dengan melihat ke atas dari
kaki gunung Lolombulan. Saat itu di kawasan gunung Lolombulan dihuni oleh
kelompok manusia primitif yang tidak mampu menuliskan sejarah peradabannya
kepada generasi selanjutnya. Mereka bukanlah merupakan kelompok keturunan Toar
dan Lumimuut sebagai cikal bakal suku Malesung/ Minahasa yang muncul belakangan
bersamaan dengan tiupan angin utara dan terdampar dan menetap di tempat itu.
Kelompok manusia primitif ini telah ada dalam kurun waktu yang jauh sebelum keluarga Toar dan Lumimuut terbentuk.
Keluarga Lolo tinggal dan menjalani hari- hari kehidupan mereka pada Sabua bambu dekat mata air. Umur
Lolo kira- kira seumuran dengan pohon kelapa yang baru mulai mengeluarkan buah
pertamanya, yang tumbuh subur di samping mata air itu. Di dalam Sabua ini Lolo
hidup rukun dan damai bersama kedua
orangtuanya, serta ketujuh kakak perempuannya yang masing- masing umurnya
berjarak kira- kira 24 kali purnama dihitung dari hari kelahiran si Lolo
sebagai anak yang bungsu. Dalam Kehidupan sehari- hari Lolo selalu mendapat
perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seluruh anggota keluarganya, segala
keinginannya selalu dikabulkan oleh kedua orang tua serta kakak- kakaknya yang
harus selalu mengalah kalau dihadapkan dengan keputusan yang bertentangan
dengan kehendak Lolo. Segala hal yang berkaitan dengan urusan perut Lolo selalu
didahulukan dari pada urusan yang lain. Setiap hari Lolo menikmati sajian
masakan yang lezat, sebagai anugerah Opo Empung kepada penghuni hutan gunung
Lolombulan yang subur dan kaya akan hewan buruan. Di samping menikmati makanan
buah keringat ayahnya, Lolo juga sering memperoleh hadiah daging Ular Patola,
Tikus kulo ipus, Kelelawar, dan daging hewan lainnya dari saudara ayahnya atau
ibunya yang tinggal di dekat sumber mata air lain di kawasan kaki gunung
Lolombulan. Kebahagiaan selalu mewarnai kehidupan kelompok manusia primitif
ini, tidak pernah mereka merasakan kekurangan baik kebutuhan pangan maupun
papan, apalagi untuk kebutuhan sandang
karena semuanya telah disediakan oleh alam. Mengenai kebutuhan sandang,
mengenakan sehelai daunpun di tubuh Si Lolo merupakan hal yang menganggu kelancaran aktivitasnya sehari- hari. Lolo
tumbuh semakin hari semakin kuat dan lincah begitupun ketujuh kakak
perempuannya terus tumbuh menjadi gadis- gadis yang cantik secantik alam hutan
belantara yang sejuk dan hijau, semurni mata air yang mengalir ke sungai yang
jernih. Sebagai anak laki- laki
satu-satunya di dalam keluarganya yang selalu dipelihara oleh Opo Empung, Lolo
dan keluarganya tidak pernah mensyukuri berkat yang mereka terima, apalagi
kelakuan Lolo yang manja, egois, serta pemalas, membuat Opo Empung mengurungkan
niat-Nya untuk menganugerahkan aneka talenta istimewa kepadanya.
Pada suatu hari, ketika
Lolo hendak mengawali rutinitasnya sehari- hari yaitu bermain mengelilingi
hutan untuk memungut buah pisang Mararagos/goroho yang banyak berjatuhan di
sepanjang jalan yang ia lalui, sungguh
merupakan hari yang berbeda dengan hari- hari sebelumnya bahkan belum pernah ia
alami sebelumnya. Lolo tidak menemukan buah pisang di jalanan seperti yang
biasanya ia pungut dan dijadikannya pengalas perut ketika ia bermain. Tentu
saja hal ini membuat Si Lolo merasa lapar dan haus. Sinar mataharipun semakin
memanasi tubuh Lolo yang hanya ditutupi selembar daun Loloyan atau daun awar-
awar, yang menutupi bagian kemaluannya. Lolo pun bergegas mencari mata air
terdekat untuk minum dan mandi. Sudah menjadi kebiasaan setelah mandi Lolo
mengambil daun Loloyan yang banyak tumbuh di sekitar mata air untuk menutupi salah
satu bagian tubuh yang dianggapnya sangat berharga dan istimewa itu. Anehnya
banyak daun Loloyan yang berserakan di sekitar tempat itu. Memang saudara-
saudara perempuan Lolo juga sering mandi di tempat itu namun dalam pemikiran
Lolo tidaklah munglin jika ketujuh orang kakaknya sengaja menghambur- hamburkan
daun itu begitu saja. Ternyata peristiwa yang belum pernah terjadi
sebelumnya telah menimpa ke tujuh orang
kakaknya. Mereka diculik oleh pendatang baru yaitu anak- anak keluarga Toar-
Lumimuut saat mereka selesai mandi tanpa sempat mengenakan daun Loloyan untuk
menutupi tubuh mereka. Keluarga Toar dan Lumimuut merupakan pendatang baru di
tempat itu. Mereka memiliki peradaban yang lebih maju dibanding kaum pribumi
yang masih bergaya hidup yang primitif. Kelompok pendatang baru ini telah memiliki
kemampuan berburu dengan perlengkapan berburu yang lebih baik, bahkan telah
menguasai ilmu berperang. Sejak peristiwa itu keluarga Lolo terus diganggu oleh
kelompok yang suka merusak hutan, merampas anak- anak gadis untuk dikawini, yang
tentu saja memancing kemarahan kaum primitif. Terjadilah permusuhan antara kaum
primitif yang mempertahankan hutan belantara sebagai istananya dengan anak-
anak Toar- Lumimuut yang terus memperluas kawasannya karena didorong oleh
pertambahan jumlah anggotanya. Anak- anak Toar – Lumimuut terus melangkah
semakin jauh ke luar wilayahnya untuk berburu, mencari ikan, menculik para
wanita untuk dijadikan pasangan hidup dan berketurunan dan sebaliknya hal ini
semakin mempersempit kebebasan kaum primitif. Para wanita kaum primitif,
walaupun diperlakukan dengan baik sebagai istri, namun di pihak kaum primitif
dengan tindakan naluri alamiahnya terus berupaya mengambil kembali para
wanitanya dan anak- anaknya hasil perkawinannya dengan anak- anak Toar dan
Lumimuut dengan cara menculik. Hal ini tentu saja tidak bisa didiamkan oleh
anak- anak Toar Lumimuut. Mereka pun berupaya mempertahankan keluarganya
sehingga situasi permusuhan antara kedua belah piuhak semakin tidak dapat
terbendung lagi. Pada akhirnya kaum primitif menjadi pihak yang kalah dan selalu
dirugikan. Mereka berubah menjadi manusia- manusia yang buas bagi para lawannya.
Pada akhirnya di pihak anak cucu Toar- Lumimuut muncul rasa takut kepada kaum
primitif dan tidak leluasa melakukan perjalanan ke mana- mana sendirian atau
dalam kelompok kecil. Mereka dihantui bahaya serangan kaum primitif yang tidak
terduga waktunya menculik manusia dan merampas bahan makanan.
Sangat malang nasib si Lolo. Anak laki- laki bungsu
satu-satunya di dalam keluarganya, sebagai anak kesayangan orang tuanya dan
selalu dilindungi oleh saudara-saudaranya harus mengalami peristiwa tragis karena
kehilangan kedua orang tuannya yang terkena mata panah dari musuh bersamaan
dengan saat ketujuh saudaranya diculik dan dikawini oleh keturunan Toar
Lumimuut. Si Lolo yang kehidupannya berubah drastis dari seorang anak manja
yang hidup laksana pangeran di istana hutan belantara milik ayahnya kini hidup
sebatang kara, dan kesulitan mencari makan. Si Lolo tidak pernah lagi melihat
orang- orang yang membesarkan dan merawatnya bahkan harus menyaksikan puing-
puing sabua kenangan tempat ia dilahirkan yang dibakar dan dijarah musuh. Tubuh
Lolo bertambah besar namun tidak seiring dengan perkembangan pengetahuan dan
keterampilan untuk bertahan hidup sebagai manusia untuk mengembangkan
kehidupannya. Lolo masih terbiasa dengan cara hidupnya yang lama. Sejak kecil
dia terbiasa untuk makan apa saja yang dia inginkan yang ada di hadapannya
tanpa memikirkan siapa pemiliknya, untuk siapa atau siapa yang mengupayakannya.
Kini Lolo terus bertahan dengan cara dan ciri kehidupan primitifnya. Lolo
bersama sisa kaumnya yang terus berkurang dan mengalami kekalahan terus
didorong mundur dan semakin terisolir dari sebuah peradaban baru, dan yang berangsur-angsur
menghilang. Mereka terusir dan kehilangan tempat perteduhan yang semakin lama
semakin digantikan oleh penghuni baru yang semakin bertambah banyak berkat
sumbangsih buah kandungan kaum wanita primitif yang bersatu padu dengan benih
keturunan Toar- Lumimuut, menjadi bangsa yang besar dan kuat yaitu kaum
Malesung, sebagai dinasti pribumi baru penguasa kawasan gunung Lolombulan atau
gunung bulan purnama.
Kaum Malesung seolah-olah tidak pernah menyadari bahwa mereka
ada dan bertambah banyak berkat air susu ibu-ibu kaum primitif yang
melahirkannya. Kaum Malesung selalu membangga- banggakan dirinya sebagai kaum
keturunan bangsa seberang lautan dari arah utara yang terus mengejar dan
meremehkan kaum primitif. Kaum primitif yang
kaum prianya sudah banyak yang tewas, kaum wanitanya yang terus dirampas sehingga
mereka kekurangan rahim untuk mengandung dan melahirkan, namun meskipun sedikit
dan terpencar tetap saja menjadi ancaman yang serius bagi kaum Malesung. Lolo
pun berubah menjadi sosok yang rakus dan kelaparandan menjadi pencuri makanan
yang sangat gesit dan selalu meresahkan kaum Malesung. Kebiasaannya adalah
mencuri makanan yang sudah matang, beberapa kali Lolo tertangkap basah saat
hendak mencuri makanan namun beruntungnya ia selalu dapat meloloskan diri. Suatu
ketika beberapa anggota kaum Malesung menyiapkan ranjau berduri untuk menangkapnya namun hanya daun Loloyan
saja yang merupakan pakaian Lolo yang mereka dapatkan. Dari peristiwa itu Lolo disebut-sebut
sebagai pencuri makanan tanpa pakaian sehelai benang pun.
Dari perkawinan kedua kaum ini sebenarnya telah terjalin tali
persaudaraan antara kedua pihak yang bertikai. Namun kenyataannya bukanlah
persaudaraan yang terjalin tetapi permusuhan yang abadi. Hal ini mungkin bertentangan
dengan dengan kehendak Sang Pencipta yang telah mengatur skenario kehidupan
mereka untuk dipertemukan dan dipersatukan bukan saling memusuhi dan saling
melenyapkan. Mungkin inilah yang menyebabkan murka Si Opo Empung, sehingga
dihembuskannya angin Amian/ utara atau
yang dikenal pula dengan angin Ame’an yang artinya angin yang ditangisi kepada
pihak yang bertikai dengan maksud menghentikan permusuhan ini. Angin ini dianggap
sebagai angin petaka karena membawa bencana untuk mahluk hidup baik manusia,
hewan, dan tumbuh- tumbuhan. Angin dari arah utara ini membawa penularan sakit-
penyakit yang menular yang menyebabkan kematian. Dampak angin Amian yang
dahsyat ini menyebabkan penduduk harus berpindah tempat untuk mencari pemukiman
baru karena adanya penyebaran penyakit menular, belalang- belalang atau kutu-
kutu penyakit tertentu ikut terbawa angin. Sungguh dahsyat kuasa Opo Empung
dalam mengendalikan alam semesta beserta segala isinya. Kemunculan kaum
Malesung yang berawal dari tiupan angin utara yang menghadirkan keluarga Toar-
Lumimuut terdampar di tanah ini, dan Tiupan angin Amian yang menghentikan
pertikaian Kaum Malesung dengan kaum primitif pribumi. Tiupan angin ini
mengakhiri kisah tentang Si Lolo yang hilang terbawa angin ke selatan, lenyap
di balik cahaya bulan purnama. Entah dia telah meninggal karena wabah penyakit
yang dibawa oleh angin amian ataukah si Lolo tetap hidup dan menyembunyikan diri,
hanya bulan purnama di puncak Gunung Lolombulan menjadi saksi bisu.
“Lolo” menjadi sebutan untuk alat kelamin laki- laki, sebagai
bahan gurauan orang dewasa kepada anak kecil laki- laki saat selesai mandi atau
belum berpakaian, dan kelihatan kemaluannya.
Selain itu, ada juga sebutan “pang balolo” artinya orang yang melakukan perbuatan
mencuri makanan yang sudah matang seperti kebiasaan si Lolo, dan ketika ada
anggota kaum Malesung yang hilang, maka “Makalulu”(sebutan kepada sisa- sisa
kaum primitif) menjadi sasaran tuduhan di antara fakta atau fiksi, dari
generasi ke generasi.